This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 16 Februari 2012
Neoliberalisme Dunia Pendidikan: Otonomi Kampus dan Sekolah
Dikeluarkan
Oleh Departemen Litbang LMND
Menyoroti berbagai persoalan tentang
sistem pendidikan belakangan ini, kita akan justru dengan terpaksa harus
mengupas sebuah isu, yaitu otonomi sekolah dan otonomi kampus. Kedua hal ini
sebenarnya adalah jalan keluar yang ditawarkan pemerintah untuk menghadapi
kurangnya dana yang tersedia untuk penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakat.
Selintas, kebijakan ini justru lebih berlaku untuk sekolah-sekolah dan
kampus-kampus negeri yang memang dibiayai pemerintah. Namun, jika kita
menelusuri secara historis dan lebih detail, maka akan terlihat bahwa kebijakan
yang dicanangkan pemerintah dengan apa yang dinamakan Otonomi Pendidikan
ternyata akan berpengaruh kepada keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia.
Sampai saat ini, dalam kenyataannya,
negara tak pernah menjalankan secara konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam
persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih
terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru,
pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan.
Bertambahnya populasi manusia Indonesia
semasa Orde Baru tak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial,
termasuk pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah justru tak pernah
dengan serius memperhatikan persoalan ini. Pemerintah Orde Baru justru lebih
membiarkan anak-anak Indonesia masuk ke dalam jeratan pendidikan swasta. Memang
begitu banyak dibangun SD-SD Inpres, tetapi sangat jelas kelanjutan dari
pendidikan dasar tersebut sangat tidak diperhatikan. Bahkan kini, program SD
Inpres ini sepertinya sama sekali ditinggalkan, jika kita melihat begitu banyak
gedung-gedung SD Inpres, terutama di daerah pedesaan, yang nyaris rubuh dan
hanya memiliki beberapa orang guru saja untuk mendidik semua tingkat kelas yang
ada.
Dengan pembenaran kesulitan semacam
inilah, pintu untuk pendidikan swasta, di bawah naungan yayasan-yayasan yang
kebanyakan bersifat keagamaan, masuk memanfaatkan segenap potensi pasar yang
ada. Berdirilah sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang kini semakin jelas
terlihat tujuan mereka sebenarnya: uang!
Seiring dengan pertumbuhan industri,
kebutuhan akan tenaga kerja terdidikpun muncul, terutama dengan keahlian yang
benar-benar seperti yang diinginkan oleh para pemilik perusahaan. Kebutuhan
tersebut ternyata tak terjawab oleh adanya sekolah-sekolah kejuruan yang ada.
Untuk menjawab keinginan ini, negara memperkenalkan sistem pendidikan D1, D2,
dan D3. Iming-iming cepatnya lulusan diploma mendapatkan pekerjaan, membuat
program ini laku diminati orang dan berbondong-bondong lulusan SMA menyertakan
dirinya ke dalam program ini.
Tahun-tahun terakhir dari masa Orde
Barupun kita mulai mendengar istilah “Link and Match” yang bermakna hubungan
yang katanya harmonis antara dunia Industri dan Pendidikan. Tujuan dari model
pendidikan seperti ini, menurut Wardiman Djojonegoro, adalah setiap peserta
didik dapat langsung mendapatkan pelatihan yang menggunakan perkembangan
teknologi terakhir sehingga memudahkan ia untuk bekerja nantinya dan pihak
industri mendapatkan pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya.
“Link and Match” meski belum sempat
diterapkan secara efektif, namun minimal ia adalah salah satu gerbang masuknya
pengaruh perusahaan-perusahaan besar ke dalam sistem pendidikan Indonesia.
Pemerintah begitu bersemangatnya, sehingga merasa harus memberikan insentif
berupa pembebasan pajak bagi industri yang menjalankan konsep ini, atau yang
sering disebut Pendidikan Sistem Ganda[1].
Dalam kenyataannya kemudian, pelibatan dunia industri justru membuka kesadaran
bagi dunia industri untuk mentenderkan riset dan pengembangan produknya di
kampus-kampus. Dan juga membuka kesadaran di kalangan kampus, bahwa kampus
dapat dijadikan lahan bisnis yang cukup besar.
Hasil akhir dari sistem pendidikan yang
dibangun oleh Orde Baru adalah sebuah mimpi buruk. Dari penelitian yang
dilakukan Departemen Pendidikan dan PBB[2]
menyatakan, di tingkat Sekolah Dasar misalnya, hanya separuh siswa SD di
Indonesia yang lulus pada tahun keenam, 65 persen lulus pada tahun ketujuh, dan
70 persen yang lulus pada tahun kedelapan.
Penyebaran kualitas pendidikan pun
sangat menyedihkan. 80 persen calon mahasiswa PTN terbaik berasal dari
sekolah-sekolah di Jawa. Lihat saja skor rata-rata untuk penerimaan mahasiswa
baru (UMPTN) tahun 2000 yaitu 771, sedangkan di luar Jawa hanya berkisar
400-600.
Salah satu argumen yang berkembang
tentang sumber persoalan ini adalah karena pola kebijakan pendidikan yang
sentralistis, di mana pusat mengatur mulai dari jam belajar, metode belajar,
dan target yang harus dicapai. Akibatnya, terdapat keterbatasan sekolah dalam
mengatasi berbagai macam masalah, karena sekolah dan guru hanyalah pelaksana
yang selalu dibelenggu oleh aturan-aturan baku yang ditetapkan oleh pusat. Akan
tetapi, benarkah argumen ini?
Intervensi komersialisasi justru
menjadi penyebab utama dari segudang persoalan di atas. Ia menyebabkan
membengkaknya iuran pendidikan yang harus dibayar orang tua siswa akibat adanya
pengutipan oleh birokrasi sekolah atau kampus. Ia menyebabkan adanya buku-buku
tidak bermutu yang malah dipakai oleh sekolah-sekolah. Ia menyebabkan munculnya
sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang materi pengajarannya harus dengan sangat
terpaksa kini diragukan. Pemerintah yang cuci tangan dari kewajibannya dan
pembukaan pendidikan untuk komersialisasi jelas adalah penyebab utama dari
amburadulnya hasil pendidikan Orde Baru.
Semasa
Orde Baru, dana pendidikan yang dikeluarkan tak lebih dari 8 persen dari APBN.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand,
maka dapat terlihat bahwa pemerintah Indonesia tak pernah memperhatikan
pendidikan. Sejak tahun anggaran 1992, 1993, 1994, 1995, 1996 Thailand
masing-masing mengalokasikan 18,8 persen, 19,3 persen, 19,5 persen, 18,9 dan
20,40 persen maka untuk periode yang sama Indonesia hanya 8,08 persen, 7,69
persen, 7,1 persen, 6,73 persen, dan 6,96 persen. Untuk hal yang sama, sering
disebut-sebut Malaysia sudah mengalokasikan 25 persen sejak tahun 1974[3].
Anggaran
pendidikan saat ini sangat memperlihatkan bahwa pemerintah memang benar-benar
melepaskan tanggungjawabnya dari dunia pendidikan, apalagi memasukkan
pendidikan sebagai salah satu yang diberikan tanggungjawabnya kepada pemerintah
daerah.
Sebelumnya,
untuk kasus Universitas Indonesia, pemerintah menanggung subsidi untuk setiap
mahasiswa sebesar 2,5 juta rupiah persemesternya untuk menghadapi kebutuhan
sekitar 7 juta per semester per mahasiswa. Pemerintah lalu memotong subsidi
ini, dengan alasan agar dapat digunakan di pendidikan dasar-menengah.
Akibatnya, iuran SPP yang ditanggung mahasiswa UI meningkat menjadi 750.000
rupiah dari 450.000 rupiah[4].
Dan inipun harus ditambah dengan dana DPKP yang menyebabkan total biaya yang
ditanggung per mahasiswa lebih dari 1 juta per semester.
Lucunya,
setelah mengatakan bahwa pemotongan subsidi untuk perguruan tinggi karena
pemerintah ingin menggunakan dananya di pendidikan dasar dan menengah,
diumumkanlah pemberlakuan otonomi pendidikan yang termasuk dalam paket otonomi
daerah. Dalam otonomi pendidikan ini juga diperkenalkan manajemen pendidikan
berbasis sekolah yang dapat disimpulkan dengan singkat: uang SPP SD-SMTA naik.
Konsep yang berlaku dalam otonomi
pendidikan adalah apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis sekolah dan
kampus. Sekolah dan kampus bertanggung jawab atas keuangan, kegiatan atau
program, sarana-prasarana, dan komponen-komponen penunjang pendidikan lainnya.
Sekolah dan kampuslah yang merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol dirinya
dalam melakukan pembangunan diri ataupun pendidikan bagi siswa-siswanya.
Otonomi pendidikan ini juga
sejalan dengan otonomi daerah yang berlaku 1 Januari 2001 lalu. Berbagai
Pemerintah Daerah Tingkat I dan II sudah menyatakan kesiapan dirinya. Mereka
terutama adalah daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Sebagai
contoh Pemda Kalimantan Timur yang mengklaim sudah menyiapkan anggaran
pendidikan sebesar 340 milyar rupiah dan dengan tambahan dana dari sektor
kehutanan sebesar dua dolar per meter kubik kayu hutan industri yang
dimilikinya. Salah satu kabupatennya, Kutai Kertanegara, yang kaya akan hasil
tambang minyak dan emas bahkan akan menggratiskan sekolah sampai SMA.
Namun tak semua provinsi dan kabupaten
seperti Kalimantan Timur dan Kutai Kertanegara. Provinsi dan kabupaten yang
selama ini miskin kekayaan alam dan berjubel penduduknya tidak akan mengalami
keindahan dunia pendidikan seperti yang dialami Kaltim dan Kutai. Artinya, ada
beberapa hal yang harus dicermati dalam pelaksanaan otonomi pendidikan.
Desentralisasi pendidikan dimulai dengan memberi peran kepada
pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kotamadya sebagai basis pengelolaan
pendidikan dasar. Sedangkan untuk pendidikan tinggi
Pertama,
otonomi daerah telah menyebabkan kembalinya sumber-sumber daya untuk pendidikan
ke daerah-daerah. Asumsi dari otonomi
daerah, atau lebih tepatnya sumber kepalsuannya, setiap daerah memiliki
potensinya masing-masing sehingga justru dengan otonomi daerah setiap daerah
bisa mencapai tingkat kemakmuran.
Mari
kita lihat kenyataannya, tak usah jauh-jauh dari pusat kekuasaan. Di Jabotabek
dan Jawa Barat masih banyak SD-SD yang fasilitasnya dan mutu pendidikan yang
diperoleh siswa-siswanya sama-sama menyedihkan dengan di daerah-daerah lainnya.
Dibandingkan dengan SD-SD yang berada dalam perkembangan infrastruktur di
daerah-daerah luar Jawa di mana alam masih menjadi sumber keterbatasan,
sebenarnya SD-SD di Jawa, di mana segala macam fasilitas telah tersedia,
ternyata memiliki nasib sama-sama menyedihkan.
Yang
tak kalah penting adalah kondisi yang sangat dipenuhi ketimpangan di awal
pemberlakuan pendidikan. Kondisi SD-SD di Jawa Barat dan SD-SD di Papua jelas
sangat jauh berbeda baik dari segi fasilitas, tenaga pengajar, kemampuan siswa,
dan mutu pendidikannya. Atau dalam contoh ekstrem, sebuah SMA negeri unggulan
di Jakarta dengan semua ruang kelas ber-AC, memiliki lab komputer, dan segudang
fasilitas lainnya bisa beroperasi karena SPPnya mencapai ratusan ribu rupiah.
Bahkan saat ini juga telah muncul sekolah-sekolah plus dari swasta yang
berfasilitas hebat dan berstandar pendidikan internasional[5].
Ya, sekolah-sekolah ini memang berkualitas karena dananya juga berasal dari
murid-muridnya yang kaya. Tapi bagaimana menciptakan pendidikan yang
berkualitas dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat? Dengan
otonomi pendidikan, menyerahkan segala urusan
pembiayaan kepada kampus dan sekolah? Jelas tidak. Otonomi pendidikan
justru akan menghambat pemerataan mutu pendidikan baik antar daerah dan juga
antar lapisan-lapisan ekonomi masyarakat.
Jika
begitu, otonomi pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolahnya menjadi
upaya cuci tangan pemerintahan dari tanggung jawab membenahi segala macam
kerusakan yang telah terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia.
Kedua,
otonomi pendidikan tidaklah berarti peningkatan porsi anggaran pendidikan, atau
titik perhatian pemerintah. Padahal, penyebab utama rendahnya mutu pendidikan
Indonesia adalah rendahnya dana yang dialokasikan untuk sektor pendidikan.
Jangan pernah tertipu oleh jumlah uang yang dianggarkan untuk pendidikan, tapi
perhatikanlah persentasinya dari total anggaran. Jika alokasi anggarannya tetap
rendah, maka justru otonomi pendidikan justru akan menyengsarakan siswa-siswa.
Kenapa? Karena otonomi pendidikan juga berarti menyerahkan tanggung jawab
penyediaan dana kepada sekolah-sekolah, dan yang paling mudah untuk mendapatkan
dana adalah menaikkan iuran sekolah.
Seperti yang pernah diungkapkan di atas, masuknya
intervensi industri ke dalam kampus telah menciptakan basis bisnis baru, riset
dan pengembangan produk. Awalnya, ladang bisnis ini dijalankan secara diam-diam
ataupun bahkan diselimuti oleh institusi-institusi penelitian kampus untuk membiayai
berbagai macam kegiatan akademik. Yang digunakan juga fasilitas-fasilitas
kampus. Kenapa tidak? Di negara-negara maju hal ini sudah menjadi sesuatu yang
lumrah. Apalagi hampir kebanyakan tenaga pengajar yang dinilai terbaik oleh
kampus-kampus Indonesia dididik di negara-negara tersebut.
Namun lama kelamaan, ia menjadi lahan bisnis yang
menguntungkan, terutama untuk beberapa kalangan di dalam kampus yang dekat
dengan fasilitas penelitian dan pengembangan kampus. Dan pihak birokrasi
kampuspun mulai melihat riset IPTEK sebagai lahan bisnis yang dapat memberikan
pemasukkan untuk anggaran kampus, ataupun anggaran pribadi jika
person-personnya terlibat KKN.
Dunia bisnis dengan dunia kampus memiliki perbedaan
yang mendasar. Jika dunia kampus adalah bertugas melayani masyarakat, dunia
bisnis memiliki hanya satu kepentingan: memperkaya para pemegang saham. Apa
jadinya jika fasilitas penelitian di kampus-kampus lebih banyak dipakai untuk
kebutuhan-kebutuhan komersil? Semua pusat perhatian penelitian di kampus akan
lebih banyak tercurah kepada kepentingan-kepentingan para pemilik modal, bukan
mayoritas masyarakat.
Saat inipun, banyak tugas-tugas akhir mahasiswa S1,
terutama di fakultas-fakultas teknik, sudah sangat banyak dipengaruhi oleh
pengembangan fasilitas penilitian kampus sebagai sarana bisnis. Banyak
dosen-dosen pembimbing yang juga terlibat proyek penelitian dengan berbagai
perusahaan justru memanfaatkan tenaga gratisnya para mahasiswa tugas akhir
tersebut untuk membantu menyelesaikan proyeknya.
Konsep otnomi kampus juga memperkenalkan model performance contract untuk pemberian
subsidi pendidikan. Misal, di kampus A pemerintah memberikan sejumlah bantuan
(block grant) yang diikat oleh sejumlah persyaratan seperti jumlah kelulusan yang
dihasilkan dan kualitas dari kelulusan tersebut haruslah mencapai standar
tertentu.
Jika kuantitas dan kualitas yang ditentukan tidak
dapat dipenuhi, maka akan menjadi evaluasi dalam pemberian bantuan selanjutnya.
Bisa jadi evaluasi tersebut menjadi alasan pengurangan subsidi yang diberikan
ke kampus A tersebut.
Sistem semacam ini tak ubahnya membuat kampus menjadi
pabrik sarjana, dimana manusia-manusia yang dididik di dalam kampus-kampus
benar-benar hanya siap untuk menjadi mur dan baut dunia industri. Kurikulum
jelas akan benar-benar dipengaruhi prasyarat-prasyarat yang tercantum dalam
kontrak bantuan. Lihat saja betapa besar genjotan yang dilakukan pihak
birokrasi kampus untuk mempercepat masa studi seorang mahasiswa perguruan
tinggi negeri. Di banyak kampus negeri saat ini, dalam satu tahun dapat
mengadakan tiga kali masa persidangan skripsi ataupun tugas akhir. Ini juga
ditambah dengan batas maksimum masa studi yang perpanjangannya diembel-embeli
dengan penambahan beban SPP. Dan semua itu sama sekali tidak memperhatikan apa
yang diperoleh setiap wisudawan selama masa studinya di kampus-kampus tersebut.
Dalam konsep otonomi pendidikan saat ini memang negara
tidak terlalu dominan dibanding masa Orde Baru. Namun yang menarik, pelibatan
semua unsur-unsur masyarakat di dalam Lembaga Pertimbangan Pendidikan dan
Kebudayaan (LPPK) untuk SD-SMTA di pemda-pemda setempat, dan Majelis Wali
Amanat (MWA) untuk perguruan tinggi negeri.
Kenapa menarik? Karena di dalam setiap lembaga
tersebut, unsur usahawan selalu dimasukkan sebagai daftar pertama sebagai
anggotanya. Jelas, masuknya usahawan ke dalam manajemen pendidikan tidak bisa
ditolak jika yang bersangkutan benar-benar ingin membantu dunia pendidikan
tanpa imbalan apapun. Namun kenyataannya, ini sering kali membuat
institusi-institusi pendidikan memasukkan hitungan untung rugi finansial dalam
memberikan pendidikan kepada peserta didiknya.
Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara,
terutama negara-negara maju. Di Kanada misalnya, pengaruh korporat mulai
mengarahkan kampus sebagai pelayan kepentingan ekonomi mereka, yaitu pasar
produk mereka dan riset yang dilakukan kampus. Komersialisasi riset dan
pengembangan justru dianjurkan oleh sebuah badan yang didirikan oleh pemerintah
federal, Expert Panel on the Commercialization of University
Research. Ternyata, badan yang diketuai oleh Menteri Perindustrian Kanada ini
tidak diisi oleh ahli-ahli akademik, melainkan para pengusaha dan non
akademisis lainnya yang memang ditunjuk oleh pemerintah. Penerapan model MWA di
Kanada juga terjadi, sebagai contoh Board of Governors dari McGill University
adalah para pengusaha besar di Montreal[6].
Kasus demi kasus terjadi, dua yang terakhir adalah pendirian McGill College
International yang didanai swasta dan kasus kesepakatan rahasia mengenai riset
minuman dingin.
Terlepas dari semua frasa kosong yang dikeluarkan oleh
para konseptor otonomi pendidikan di Indonesia, kita tak bisa melupakan satu
hal yang berkaitan langsung dan paling terasa oleh masyarakat. Otonomi
pendidikan akan selalu diikuti oleh kenaikan SPP. Pengalaman di UNAM, Meksiko,
membuktikan gratisnya (sebenarnya tidak gratis tetapi sekitar 50 sen
persemester, sehingga dapat dikatakan gratis) pendidikan tidak berarti buruknya
fasilitas kampus. Bahkan UNAM yang jumlah mahasiswanya mencapai 268000 orang,
memiliki fasilitas berupa empat buah SMA yang siswa-siswanya begitu lulus
menjadi mahasiswa UNAM. Namun ketika program Neoliberalisme diperkenalkan, biaya
SPP dinaikkan hingga US$ 140, sebuah angka yang cukup mahal di kota Meksiko.
Akibatnya, hampir sebagian mahasiswa UNAM melakukan mogok kuliah yang kemudian
berbentrokan dengan aparat kepolisian yang diundang oleh pemerintah untuk
merebut kembali kampus[7].
Di Indonesia, mahasiswa negeri angkatan 1999 dan 2000
kini membayar uang mendekati 1 juta rupiah sebagai SPP. Sampai saat ini memang
masih belum jelas untuk tingkat pendidikan di bawahnya, tetapi memang telah
terlihat akibat-akibat kenaikan SPP ini, 3 juta anak usia SMTP tidak sekolah.
Sementara itu, pemerintah tetap mendorong kebijakan otonomi pendidikan kepada
pemda-pemda dan otonomi kampus. Untuk otonomi kampus saja, direncanakan subsidi
untuk pendidikan tinggi akan terus-menerus dikurangi sampai nol dalam jangka
beberapa tahun.
***
Menjadi persoalan pelik jika di saat krisis saat ini
sektor pendidikan tidak menjadi bagian perhatian pemerintah. Apabila
terus-menerus seperti ini, maka bukan tidak mungkin pendidikan kembali hanya
menjadi monopoli orang-orang yang memiliki modal yang hanya memberikan
pendidikan kepada orang lain untuk memperlancar ekonominya.
[2] Tempo,
7 Januari 2001
[3] Lewat
Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998
[5] Sekolah Plus, Menghitung
Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001
[6] Kasrai, Reza, Corporate
University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur 2001.
[7] http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.asp
Etika Bisnis KPK
Deputi Bidang Pencegahan KPK, Waluyo bercerita di depan peserta workshop Etika Bisnis di Pertamina. Banyak perusahaan yang umurnya puluhan tahun bahkan ratusan tahun dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, dan pegawainya pun bangga karenanya, pelaksanaan etika bisnis dan Good Corporate Governancenya menjadi salah satu sustainable competitive advantage. Waluyo menyebut Shell, BP, GE, Johnson and Johnson, sebagai di antara perusahaan yang dimaksud. Sebaliknya perusahaan-perusahaan besar banyak yang bangkrut atau sekadar ‘mati nggak, hidup pun ogah’ karena penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan etika bisnis tidak konsisten. "Lemahnya komitmen dan kepemimpinan dan tidak dipakainya instrumen di dalam penerapan etika bisnis," kata Waluyo.
Kelemahan lain adalah dalam proses internalisasi code of conduct ke seluruh pegawai. Dalam bahasa Waluyo mereka mem-print code of conduct, lalu menempelkan di dinding (post), "Dan terakhir adalah pray, berdoa, ‘mudah-mudahan pegawai saya membacanya," Waluyo setengah bercanda.
Kesalahan lain adalah adanya intervensi dari beberapa pihak. "Nantinya seluruh BUMN itu free for doing leadership tanpa harus ada intervensi," katanya.
Kalau seluruh BUMN bergerak ke arah corruption free menurut Waluyo sangat powerful karena ada 137 BUMN. Waluyo memberikan batasan soal intervensi, bahwa sebuah korporasi akan maju dengan baik manakala dalam pengambilan keputusan tidak ada afiliasi yang meng-gantungi diri¬nya. "Saya melakukan ini for the best of the company," ujar Waluyo mengumpamakan ujaran CEO BUMN.
Intervensi yang dimaksud tidak berkaitan dengan pihak penginter¬vensi dalam kapasitas pemegang saham. "Intervensi itu adalah intervensi yang sifatnya BOD tidak independen karena ada keterikatan power yang lain," jelas Waluyo.
Apa kaitan satu sama lain antara korupsi, dilema etika, etika bisnis, dan Good Corporate Governance (GCG)?
Korupsi itu busuk; palsu; suap. Penyuapan; pemalsuan. Ini kalau menurut Kamus Bahasa Indonesia (1991). Kalau Kamus Hukum (2002) menyebutkan pengertian korpusi itu sebagai buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi.
Diartikan juga di Kamus Hukum itu bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Boleh cari definisi korupsi di The Lexion Webster Dictionary (1978). Di situ ada pengertian kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian.
Kalau Indonesia belakangan dikenal sebagai negara korup terkemuka di Asia, selain Filipina. Istilah korupsi itu berasal dari kata corruptio atau corruptus. Tentu bukan bahasa Indonesia atau bahasa Filipina. Atau bahasa Hongkong dan Singapura yang terkenal sarang korupsi sektor swasta. Corruptio adalah bahasa Latin yang berasal dari kata corrumpere, terakhir ini kata Latin yang lebih tua.
Bahasa Eropa ketiban tetesan bahasa tersebut. Lahirlan kata corruption, corrupt di Inggris; corruption (Perancis); corruptie, korruptie (Be-landa). Dari bahasa Belanda inilah konon kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.
Dalam bahasa hukum kita, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (UU No. 20 Tahun 2001).
Banyak item-item yang termasuk tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Tetapi agar tidak bingung mengategorikannya, maka agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah:
(1) secara melawan hukum;
(2) memperkaya diri sendiri/orang lain;
(3) "dapat" merugikan keuangan/perekonomian negara.
Korupsi menurut buku kecil yang ditertibkan KPK Mengenali & Memberantas Korupsi sebenarnya tidak beda jauh dengan pencurian dan penggelapan. Hanya saja unsur-unsur pembentuknya lebih lengkap.
Kalau diumpamakan suatu wilayah, korupsi adalah wilayah hitam, yaitu wilayah yang secara etika jelas-jelas tidak diterima. Berhadapan dengan wilayah hitam adalah wilayah putih, yaitu wilayah yang secara etika dapat diterima.
Nah, di antara wilayah hitam dan putih itu ada wilayah abu-abu. Di situlah dilema etika berada. Korupsi, jelas tidak ada dilemanya, lha wong sudah jelas-jelas berstatus haram. Hukumnya jelas dan gampang dibedakan. Perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.
Tingkatan korupsi itu lebih tinggi daripada sekadar tindakan mencuri dan penggelapan. Kalau pencurian -- mengutip buku KPK yang mengutip Pasal 362 KUHP -- adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/hak yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.
Sedangkan penggelapan -- masih menurut buku KPK (dikutip dari Pasal 372 KUHP) -- adalah pencurian barang/hak yang dipercaya-kan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.
Lalu wilayah abu-abu?
Kalau dalam suatu operasi perusahaan ditemukan praktek-praktek yang ‘rasa-rasanya’ tidak diterima etika, tetapi ‘kok menentukan kelancaran operasi perusahaan,’ itulah dilema etika.
Kalau tetap dilakukan ya itu sudah pelanggaran, seperti suap, uang pelicin, pungli, dan lain-lain. Tapi kalau tidak dilakukan operasi perusahaan bisa-bisa terganggu serius.
Itu daerah abu-abu!
Itulah sebab setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya.
Lho, kok, bisa begitu, ya? Bukankah orang berdagang terbiasa melakukan kecurangan? Mengurangi timbangan atau takaran? Menipu dan memperdaya pembeli? Yang penting untung!
Terakhir ini di dunia bisnis ada pergeseran dari nilai intelektual ke emosional dan kemudian ke spiritual. Konsep GCG mencerminkan sekali praktek bisnis yang dilandasi sisi moral dan etika.
Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary disebutkan, bahwa etika didefinisikan sebagai:
1. the discipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation.
2. (a). set of moral principles and values, (b) theory or system of moral values, (c) the principles of conduct governing an individual or a group.
Intinya etika adalah prinsip-prinsip moral dan nilai, pembeda yang baik dan buruk. Nah, kalau begitu mengapa orang melupakan prinsip bisnis yang dijalankan tokoh dunia yang namanya Muhammad bin Abdillah, sang Nabiyullah dan Rasulullah terakhir?
Yang diajarkan Muhammad Saw dalam berbisnis adalah nilai-nilai universal. (1) Siddiq (benar, dapat dipercaya); (2) Amanah (menepati janji); (3) Fathonah (memiliki wawasan luas); (4) Tabligh (berkomunikasi).
Seorang non muslim seperti Hermawan Kertajaya, yang kita kenal sebagai pakar marketing dari MarkPlus. "Bila ingin mempelajari prinsip dan etika bisnis, pelajarilah dari agama Islam dan juga Konfusius," tuturnya seperti dikutip oleh sebuah situs.
Konfusius?
Sebagai seorang filsuf yang hidup sekitar tahun 500 SM, lanjut Hermawan Kertajaya yang juga keturunan Tionghoa ini, Konfusius adalah yang pertama yang berhasil menggabungkan berbagai keyakinan dari masyarakat Cina menjadi satu perangkat nilai luhur yang berdasarkan pada moralitas pribadi. Konfusius mengajarkan moral, perilaku baik, kemanusiaan, terus belajar, dan menjaga keseimbangan.
Aa Gym dan Hermawan Kertajaya dalam bukunya Berbisnis dengan Hati menyebutkan definisi untung dalam bisnis adalah kalau bisnis menambah silaturahmi, menambah saudara. Juga kalau bisnis mendatangkan untung untuk orang banyak. Itulah untung.
KPK menjelaskan, nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Ada visi-misi dulu, baru kita bicara nilai-nilai perusahan.
Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah honesty (kejujuran), respect on the rule of law (taat asas/peraturan), trust (kepercayaan, dapat dipercaya), common sense (kepatutan dan ke-pantasan), serta menghargai HAM.
Etika bisnis sendiri merupakan bagian in-tegral dari nilai-nilai Good Corporate Governance (GCG). Nilai-nilai GCG itu hanya lima kaidah:
(1) Transparansi (Transparency);
(2) Akuntabilitas (Accountability);
(3) Responsibilitas (Responsibility);
(4) Independensi (Independency);
(5) Kesetaraan dan kewajaran (Fairness).
Apa, sih, gunanya GCG?
Amerika Serikat harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929. Bangkrutnya Enron, perusahaan besar di AS, belakangan ini juga akibat pelanggaran terhadap etika bisnis, yang notabene melanggar kaidah GCG.
Secara akademis orang menyebutkan kebutuhan GCG timbul berkaitan dengan prinsip agency theory, yaitu untuk menghindari konflik antara principal dan agentnya.
Hal ini bisa dipahami, kalau melihat pengertian istilah GCG itu sendiri, yang merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan.
KPK bilang dalam situsnya, bahwa GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan dan perundang-undangan.
Masih menurut KPK, penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling ber-hubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator; dunia usaha sebagai pelaku pasar; dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.
Dunia usaha berperan menerapkan GCG ini dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan.
Prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah GCG adalah etika bisnis itu sendiri. Jelas, korupsi sebagai tindakan melawan hukum yang merugikan perusahaan atau bahkan negara bertentangan sekali dengan kaidah-kaidah GCG.
Pertamina Clean adalah episode kesekian dari upaya Pertamina untuk menerapkan etika bisnis dalam keseharian operasinya. Beban sejarah masa lalu yang pahit yang pernah memberati pundak Pertamina terus dikubur dengan upaya membersihkan diri dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan konflik kepentingan.
Kelemahan lain adalah dalam proses internalisasi code of conduct ke seluruh pegawai. Dalam bahasa Waluyo mereka mem-print code of conduct, lalu menempelkan di dinding (post), "Dan terakhir adalah pray, berdoa, ‘mudah-mudahan pegawai saya membacanya," Waluyo setengah bercanda.
Kesalahan lain adalah adanya intervensi dari beberapa pihak. "Nantinya seluruh BUMN itu free for doing leadership tanpa harus ada intervensi," katanya.
Kalau seluruh BUMN bergerak ke arah corruption free menurut Waluyo sangat powerful karena ada 137 BUMN. Waluyo memberikan batasan soal intervensi, bahwa sebuah korporasi akan maju dengan baik manakala dalam pengambilan keputusan tidak ada afiliasi yang meng-gantungi diri¬nya. "Saya melakukan ini for the best of the company," ujar Waluyo mengumpamakan ujaran CEO BUMN.
Intervensi yang dimaksud tidak berkaitan dengan pihak penginter¬vensi dalam kapasitas pemegang saham. "Intervensi itu adalah intervensi yang sifatnya BOD tidak independen karena ada keterikatan power yang lain," jelas Waluyo.
Apa kaitan satu sama lain antara korupsi, dilema etika, etika bisnis, dan Good Corporate Governance (GCG)?
Korupsi itu busuk; palsu; suap. Penyuapan; pemalsuan. Ini kalau menurut Kamus Bahasa Indonesia (1991). Kalau Kamus Hukum (2002) menyebutkan pengertian korpusi itu sebagai buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi.
Diartikan juga di Kamus Hukum itu bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Boleh cari definisi korupsi di The Lexion Webster Dictionary (1978). Di situ ada pengertian kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian.
Kalau Indonesia belakangan dikenal sebagai negara korup terkemuka di Asia, selain Filipina. Istilah korupsi itu berasal dari kata corruptio atau corruptus. Tentu bukan bahasa Indonesia atau bahasa Filipina. Atau bahasa Hongkong dan Singapura yang terkenal sarang korupsi sektor swasta. Corruptio adalah bahasa Latin yang berasal dari kata corrumpere, terakhir ini kata Latin yang lebih tua.
Bahasa Eropa ketiban tetesan bahasa tersebut. Lahirlan kata corruption, corrupt di Inggris; corruption (Perancis); corruptie, korruptie (Be-landa). Dari bahasa Belanda inilah konon kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.
Dalam bahasa hukum kita, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (UU No. 20 Tahun 2001).
Banyak item-item yang termasuk tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Tetapi agar tidak bingung mengategorikannya, maka agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah:
(1) secara melawan hukum;
(2) memperkaya diri sendiri/orang lain;
(3) "dapat" merugikan keuangan/perekonomian negara.
Korupsi menurut buku kecil yang ditertibkan KPK Mengenali & Memberantas Korupsi sebenarnya tidak beda jauh dengan pencurian dan penggelapan. Hanya saja unsur-unsur pembentuknya lebih lengkap.
Kalau diumpamakan suatu wilayah, korupsi adalah wilayah hitam, yaitu wilayah yang secara etika jelas-jelas tidak diterima. Berhadapan dengan wilayah hitam adalah wilayah putih, yaitu wilayah yang secara etika dapat diterima.
Nah, di antara wilayah hitam dan putih itu ada wilayah abu-abu. Di situlah dilema etika berada. Korupsi, jelas tidak ada dilemanya, lha wong sudah jelas-jelas berstatus haram. Hukumnya jelas dan gampang dibedakan. Perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.
Tingkatan korupsi itu lebih tinggi daripada sekadar tindakan mencuri dan penggelapan. Kalau pencurian -- mengutip buku KPK yang mengutip Pasal 362 KUHP -- adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/hak yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.
Sedangkan penggelapan -- masih menurut buku KPK (dikutip dari Pasal 372 KUHP) -- adalah pencurian barang/hak yang dipercaya-kan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.
Lalu wilayah abu-abu?
Kalau dalam suatu operasi perusahaan ditemukan praktek-praktek yang ‘rasa-rasanya’ tidak diterima etika, tetapi ‘kok menentukan kelancaran operasi perusahaan,’ itulah dilema etika.
Kalau tetap dilakukan ya itu sudah pelanggaran, seperti suap, uang pelicin, pungli, dan lain-lain. Tapi kalau tidak dilakukan operasi perusahaan bisa-bisa terganggu serius.
Itu daerah abu-abu!
Itulah sebab setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya.
Lho, kok, bisa begitu, ya? Bukankah orang berdagang terbiasa melakukan kecurangan? Mengurangi timbangan atau takaran? Menipu dan memperdaya pembeli? Yang penting untung!
Terakhir ini di dunia bisnis ada pergeseran dari nilai intelektual ke emosional dan kemudian ke spiritual. Konsep GCG mencerminkan sekali praktek bisnis yang dilandasi sisi moral dan etika.
Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary disebutkan, bahwa etika didefinisikan sebagai:
1. the discipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation.
2. (a). set of moral principles and values, (b) theory or system of moral values, (c) the principles of conduct governing an individual or a group.
Intinya etika adalah prinsip-prinsip moral dan nilai, pembeda yang baik dan buruk. Nah, kalau begitu mengapa orang melupakan prinsip bisnis yang dijalankan tokoh dunia yang namanya Muhammad bin Abdillah, sang Nabiyullah dan Rasulullah terakhir?
Yang diajarkan Muhammad Saw dalam berbisnis adalah nilai-nilai universal. (1) Siddiq (benar, dapat dipercaya); (2) Amanah (menepati janji); (3) Fathonah (memiliki wawasan luas); (4) Tabligh (berkomunikasi).
Seorang non muslim seperti Hermawan Kertajaya, yang kita kenal sebagai pakar marketing dari MarkPlus. "Bila ingin mempelajari prinsip dan etika bisnis, pelajarilah dari agama Islam dan juga Konfusius," tuturnya seperti dikutip oleh sebuah situs.
Konfusius?
Sebagai seorang filsuf yang hidup sekitar tahun 500 SM, lanjut Hermawan Kertajaya yang juga keturunan Tionghoa ini, Konfusius adalah yang pertama yang berhasil menggabungkan berbagai keyakinan dari masyarakat Cina menjadi satu perangkat nilai luhur yang berdasarkan pada moralitas pribadi. Konfusius mengajarkan moral, perilaku baik, kemanusiaan, terus belajar, dan menjaga keseimbangan.
Aa Gym dan Hermawan Kertajaya dalam bukunya Berbisnis dengan Hati menyebutkan definisi untung dalam bisnis adalah kalau bisnis menambah silaturahmi, menambah saudara. Juga kalau bisnis mendatangkan untung untuk orang banyak. Itulah untung.
KPK menjelaskan, nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Ada visi-misi dulu, baru kita bicara nilai-nilai perusahan.
Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah honesty (kejujuran), respect on the rule of law (taat asas/peraturan), trust (kepercayaan, dapat dipercaya), common sense (kepatutan dan ke-pantasan), serta menghargai HAM.
Etika bisnis sendiri merupakan bagian in-tegral dari nilai-nilai Good Corporate Governance (GCG). Nilai-nilai GCG itu hanya lima kaidah:
(1) Transparansi (Transparency);
(2) Akuntabilitas (Accountability);
(3) Responsibilitas (Responsibility);
(4) Independensi (Independency);
(5) Kesetaraan dan kewajaran (Fairness).
Apa, sih, gunanya GCG?
Amerika Serikat harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929. Bangkrutnya Enron, perusahaan besar di AS, belakangan ini juga akibat pelanggaran terhadap etika bisnis, yang notabene melanggar kaidah GCG.
Secara akademis orang menyebutkan kebutuhan GCG timbul berkaitan dengan prinsip agency theory, yaitu untuk menghindari konflik antara principal dan agentnya.
Hal ini bisa dipahami, kalau melihat pengertian istilah GCG itu sendiri, yang merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan.
KPK bilang dalam situsnya, bahwa GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan dan perundang-undangan.
Masih menurut KPK, penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling ber-hubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator; dunia usaha sebagai pelaku pasar; dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.
Dunia usaha berperan menerapkan GCG ini dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan.
Prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah GCG adalah etika bisnis itu sendiri. Jelas, korupsi sebagai tindakan melawan hukum yang merugikan perusahaan atau bahkan negara bertentangan sekali dengan kaidah-kaidah GCG.
Pertamina Clean adalah episode kesekian dari upaya Pertamina untuk menerapkan etika bisnis dalam keseharian operasinya. Beban sejarah masa lalu yang pahit yang pernah memberati pundak Pertamina terus dikubur dengan upaya membersihkan diri dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan konflik kepentingan.
Perspektif Ideal Etika Bisnis dan Perubahan Budaya Kerja
Perspektif Ideal Etika Bisnis dan Perubahan Budaya Kerja
Oleh: Andrew E.B. Tani
Sadar akan dilema moral yang dihadapi para karyawan selama melaksanakan tugasnya, pemimpin bisnis yang tanggap merumuskan etika bisnis (business ethics) untuk menjadi acuan bagi seluruh karyawan. Di dalamnya diuraikan sejelas mungkin hal mana yang baik dan mana yang buruk, hal mana yang benar dan salah, hal mana yang halal dan haram, mana yang dibenarkan dan mana yang dianggap tabu.
Arti kata “etika” (berasal dari bahasa Yunani ethos, digunakan sejak 1851) itu sendiri adalah “ciri yang membedakan, semangat, moralitas, atau keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh seseorang, sebuah komunitas, atau sebuah institusi”. Jadi, etika bisnis berisi keyakinan, nilai, dan perilaku yang diyakini akan mewujudkan kondisi usaha yang diinginkan dan sesuai moralitas yang dianut oleh para penguasa usaha tersebut. Etika bisnis berlaku untuk seluruh karyawan, tak terkecuali, terlebih penguasa usaha yang menetapkannya.
Istilah yang dipakai beraneka ragam, seperti Etos Kerja, Budaya Kerja, Falsafah Manajemen, Kode Etik, dan lain-lain. Selera dan ruang lingkupnya bisa berbeda, tetapi intinya sama, yaitu pesan-pesan yang menggambarkan kesempurnaan dalam berpikir, berbicara, berpenampilan, dan bertindak.
Perumusan dan penetapan etika bisnis merupakan salah satu dari sekian banyak upaya pemersatu (internal integration) yang diusahakan oleh pemimpin perusahaan untuk meningkatkan daya tahan bisnisnya. Itu dilakukan dengan mengindahkan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik (good corporate governance) sekaligus memenuhi kewajibannya sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab (corporate social responsibility).
Dalam penerapannya, etika bisnis tak luput dari kemungkinan terjadinya pelanggaran. Penulis membedakan pelanggaran terhadap etika bisnis ini menjadi dua tipe: yang tidak disengaja dan yang disengaja.
Untuk tipe pelanggaran yang tidak disengaja, ada suatu kisah yang dititipkan oleh seorang bernama Abraham Lincoln, presiden AS yang kedua. Dia bercerita tentang seorang petani yang sedang mendidik anaknya membajak sawah. Sambil menunjuk seekor sapi yang duduk santai di pinggir sawah yang mau dibajak, di petani berkata, “Kamu lihat sapi itu, Nak? Doronglah garu ini menuju ke sapinya.” Petani itu lalu meninggalkan anaknya dan mengerjakan sesuatu di tempat lain. Setelah beberapa lama, si petani kembali. Namun, dia tidak melihat suatu garis yang lurus, yang ia lihat adalah garis yang bengkak-bengkok. “Kamu berfokus pada sapi, kan?” tanyanya. “Iya, Pak, itu yang saya lakukan. Tapi, sapinya bergerak!” jawab sang anak.
Anak itu patuh kepada perintah ayahnya, tetapi ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Dua hal yang menjadi penyebab pelanggaran tak disengaja itu. Pertama, lack of clarity (kurang jelas hasil akhir yang diinginkan oleh pemimpin), dan kedua, lack of supervision (penyeliaan yang diterapkan oleh pemimpin kurang memadai).
Untuk menelaah pelanggaran yang terjadi dengan kesengajaan, ada nasihat menarik dari seorang ahli bedah otak di Jakarta. Dia mengatakan, “Pak Andrew, anak kita kalau mencuri tidak semuanya itu salah. Kita sebagai orang tua harus melihat positifnya dari anak yang mencuri itu. Ada tiga hal baik yang diperagakannya tanpa kita sadari. Pertama, anak yang mencuri itu minimal punya kemauan. Kedua, ia bisa melihat peluang, Dan ketiga, ia berani bertindak atas keyakinannya!” Tentu saja dokter itu tidak bermaksud mendorong anak kita menjadi pencuri. Maksudnya adalah beri arahan kepada anak itu tanpa harus kehilangan ketiga hal tersebut.
Dari uraian di atas, tiga hal yang sama yang menyebabkan pelanggaran yang disengaja. Pertama, conflicting goals (ada kepentingan yang tidak menyatu atau ada kebutuhan, tetapi tidak ada hak atas cara pemenuhannya). Kedua, irresistible temptation (adanya kesempatan memenuhi kebutuhan meskipun bukan haknya untuk melakukan itu). Dan terakhir, lack of consequence (hukuman yang diberikan tidak memadai untuk mengurungkan niat pelaku melakukan pelanggaran).
Disengaja atau tidak, terlepas dari besar-kecilnya pelanggaran, setiap pelanggaran terhadap etika bisnis yang dibiarkan tanpa hukuman yang sepantasnya, dengan alasan apa pun juga, akan berdampak negatif terhadap seluruh upaya pemersatu lainnya yang sedang diusahakan oleh para pemimpin perusahaan. Setiap pelanggaran yang tidak terdeteksi berbahaya. Dan, setiap pelanggaran yang terdeteksi, tetapi tidak mendapat ganjaran yang sepantasnya, lebih berbahaya lagi. Mengingat bahwa pada akhirnya kelangsungan usaha itu sendiri yang menjadi taruhan, maka seluruh karyawan wajib mewaspadai, menegur, serta membantu terjadi sesedikit mungkin pelanggaran terhadap etika bisnis; dan pemimpin mereka wajib menerapkan hukuman secara tegas dan adil.
Namun, nyatanya, pelanggaran terhadap etika bisnis tak mudah dihentikan. Manakah di antara lima penyebab terjadinya pelanggaran di atas yang sulit untuk ditiadakan?
Lack of clarity jelas dapat diobati dengan berbagai program komunikasi dan pendidikan. Lack of supervision dapat dijaga dengan menetapkan span of control (jumlah bawahan di bawah seorang penyelia) yang memadai. Conflicting goals diminimalisir dengan sedapat mungkin seorang atasan mengenal dan membangun komunikasi dua arah dengan bawahannya. Irresistible temptation dikurangi dengan menerapkan sistem dan prosedur pengawasan yang memadai. Lack of consequence dinetralisir dengan menetapkan dan menegakkan hukuman yang berat tetapi adil.
Semua niat dan upaya perusahaan tersebut di atas baik. Namun, yang menjadi penentu akhir atas efektivitas semuanya adalah mutu kepemimpinan dan budaya perusahaan yang berlaku serta kadar keberanian moral (moral courage) yang merupakan pembawaan masing-masing karyawan perusahaan Anda.
Etika Bisnis Yang Menyimpang
Etika bisnis tidak terbatas hanya mengetengahkan kaidah-kaidah berbisnis yang baik (standar moral) dalam pengertian transaksi jual beli produk saja. Etika juga menyangkut kaidah yang terkait dengan hubungan manajemen dan karyawan. Apa karakteristik yang lebih rinci dari masalah deviasi etika bisnis seperti itu di dalam perusahaan? Yang paling nyata terlihat adalah terjadinya konflik atasan dan bawahan. Hal ini timbul antara lain akibat ketidakadilan dalam penilaian kinerja, manajemen karir, manajemen kompensasi, dan sistem pengawasan dan pengembangan SDM yang diskriminatif. Semakin diskriminatif perlakuan manajemen terhadap karyawannya semakin jauh perusahaan menerapkan etika bisnis yang sebenarnya. Pada gilirannya akan menggangu proses dan kinerja bisnis perusahaan. Namun dalam prakteknya pembatasan sesuatu keputusan manajemen itu etis atau tidak selalu menjadi konflik baru. Hal ini karena lemahnya pemahaman tentang apa itu yang disebut etika bisnis, masalah etika, dan lingkup serta pendekatan pemecahannya.
Wujud dari masalah etika bisnis dapat dicirikan oleh adanya faktor-faktor: (1) berkaitan dengan hati nurani, standar moral, atau nilai terdalam dari manusia, (2) karena masalahnya rumit, maka cenderung akan timbul perbedaan persepsi tentang sesuatu yang buruk atau tidak buruk; membahagiakan atau menjengkelkan, (3) menghadapi pilihan yang serba salah, contoh kandungan formalin dalam produk makanan; pilihannya kalau mau dapat untung maka biarkan saja tetapi harus siap dengan citra buruk atau menarik produk dari pasar namun bakal merugi, dan (4) kemajemukan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan; misalnya apakah perusahaan perlu menggunakan teknologi padat modal namun dilakukan PHK atau padat karya tetapi proses produknya akan kurang efisien.
Bentuk akibat penyimpangan etika bisnis internal perusahaan antara lain terjadinya ketegangan diametris hubungan atasan dengan bawahan. Seperti diungkapkan di atas hal ini terjadi karena ketimpangan antara lain dalam proses penilaian kinerja, standar penilaian, dan perbedaan persepsi atasan-bawahan tentang hasil penilaian kinerja. Selain itu ukuran atau standar tentang karir sering tidak jelas. Dalam hal ini pihak manajemen memberlakukan tindakan yang tidak adil. Mereka menetapkan nilai sikap, gaya hubungan kepada atasan, dan loyalitas kepada atasan yang tinggi lebih besar ketimbang nilai kinerja faktual karyawannya. Kasus lainnya adalah diterapkannya model nepotisme dalam penseleksian karyawan baru. Pertimbangan-pertimbangan rasional diabaikan. Termasuk dalam proses rekrutmen internal. Jelas saja mereka yang potensial tersisihkan. Pada gilirannya akan terjadi kekecewaan karyawan yang unggul dan kemudian keluar dari perusahaan.
Dari contoh-contoh di atas maka tampak pihak perusahaan lebih mengutamakan kepentingan meraih keuntungan ketimbangan menciptakan kepentingan karyawan secara adil.Untuk memperkecil terjadi penyimpangan penerapan etika bisnis maka perusahaan perlu (a) mengenali respon orang terhadap suatu masalah ketika dihadapkan pada sesuatu yang dilematis dan ketidak-konsistenan, dan (b) melihat etika bisnis dari resiko yang dihadapi seseorang apakah dengan keputusan personal ataukah keputusan sebagian besar orang lain ataukah pertimbangan keputusan berbasis kepentingan perusahaan yang lebih besar secara keseluruhan.
Komentar»
1. RIRI SATRIA - Desember 31, 2007
Prof, hal ini kelihatannya relevan dengan apa yang dibahas oleh Daniel de Faro Adamson dan Joe Andrew dalam buku mereka yang terbaru (terbitan 2007) yaitu ” The Blue Way”, yang membahas bagaimana mitos yang mengatakan bahwa kalau mau sukses berbisnis maka jangan memikirkan etika. Ternyata hasil riset mereka menunjukkan sebaliknya, di mana “ternyata etika adalah kunci sukses berbisnis dalam jangka panjang”.
2. sjafri mangkuprawira - Desember 31, 2007
Bung Riri; ada temuan Chong Young Lee dan Heidiki Yoshihara terhadap para karyawan perusahaan besar dan menengah di Korea Selatan dan Jepang (Fredy s.Nggao,1998) yang mengetengahkan beberapa hal penting. Temuannya menunjukkan tindakan etis dalam perusahaan sangat ditentukan oleh nilai pribadi usahawan. Kalau terjadi tindakan tidak etis mereka berdalih untuk meraih keuntungan, dilakukan sudah umum, dan karena instruksi atasan. Namun dalam jangka panjang mereka tetap yakin bahwa bisnis yang dilakukan secara etis akan menguntungkan. Hampir senada, etika bisnis itu sebenarnya sama saja dengan proses investasi. Dengan itu maka akan diperoleh return on investment in ethics berupa kejujuran,kedisiplinan,ketrampilan karyawan, dan keharmonisan kerja yang mampu meningkatkan produktivitas. Sementara di kalangan manajer dan pimpinan akan berkembang aktualisasi diri dan sikap yang lebih bijak.
message
name
Wujud dari masalah etika bisnis dapat dicirikan oleh adanya faktor-faktor: (1) berkaitan dengan hati nurani, standar moral, atau nilai terdalam dari manusia, (2) karena masalahnya rumit, maka cenderung akan timbul perbedaan persepsi tentang sesuatu yang buruk atau tidak buruk; membahagiakan atau menjengkelkan, (3) menghadapi pilihan yang serba salah, contoh kandungan formalin dalam produk makanan; pilihannya kalau mau dapat untung maka biarkan saja tetapi harus siap dengan citra buruk atau menarik produk dari pasar namun bakal merugi, dan (4) kemajemukan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan; misalnya apakah perusahaan perlu menggunakan teknologi padat modal namun dilakukan PHK atau padat karya tetapi proses produknya akan kurang efisien.
Bentuk akibat penyimpangan etika bisnis internal perusahaan antara lain terjadinya ketegangan diametris hubungan atasan dengan bawahan. Seperti diungkapkan di atas hal ini terjadi karena ketimpangan antara lain dalam proses penilaian kinerja, standar penilaian, dan perbedaan persepsi atasan-bawahan tentang hasil penilaian kinerja. Selain itu ukuran atau standar tentang karir sering tidak jelas. Dalam hal ini pihak manajemen memberlakukan tindakan yang tidak adil. Mereka menetapkan nilai sikap, gaya hubungan kepada atasan, dan loyalitas kepada atasan yang tinggi lebih besar ketimbang nilai kinerja faktual karyawannya. Kasus lainnya adalah diterapkannya model nepotisme dalam penseleksian karyawan baru. Pertimbangan-pertimbangan rasional diabaikan. Termasuk dalam proses rekrutmen internal. Jelas saja mereka yang potensial tersisihkan. Pada gilirannya akan terjadi kekecewaan karyawan yang unggul dan kemudian keluar dari perusahaan.
Dari contoh-contoh di atas maka tampak pihak perusahaan lebih mengutamakan kepentingan meraih keuntungan ketimbangan menciptakan kepentingan karyawan secara adil.Untuk memperkecil terjadi penyimpangan penerapan etika bisnis maka perusahaan perlu (a) mengenali respon orang terhadap suatu masalah ketika dihadapkan pada sesuatu yang dilematis dan ketidak-konsistenan, dan (b) melihat etika bisnis dari resiko yang dihadapi seseorang apakah dengan keputusan personal ataukah keputusan sebagian besar orang lain ataukah pertimbangan keputusan berbasis kepentingan perusahaan yang lebih besar secara keseluruhan.
Komentar»
1. RIRI SATRIA - Desember 31, 2007
Prof, hal ini kelihatannya relevan dengan apa yang dibahas oleh Daniel de Faro Adamson dan Joe Andrew dalam buku mereka yang terbaru (terbitan 2007) yaitu ” The Blue Way”, yang membahas bagaimana mitos yang mengatakan bahwa kalau mau sukses berbisnis maka jangan memikirkan etika. Ternyata hasil riset mereka menunjukkan sebaliknya, di mana “ternyata etika adalah kunci sukses berbisnis dalam jangka panjang”.
2. sjafri mangkuprawira - Desember 31, 2007
Bung Riri; ada temuan Chong Young Lee dan Heidiki Yoshihara terhadap para karyawan perusahaan besar dan menengah di Korea Selatan dan Jepang (Fredy s.Nggao,1998) yang mengetengahkan beberapa hal penting. Temuannya menunjukkan tindakan etis dalam perusahaan sangat ditentukan oleh nilai pribadi usahawan. Kalau terjadi tindakan tidak etis mereka berdalih untuk meraih keuntungan, dilakukan sudah umum, dan karena instruksi atasan. Namun dalam jangka panjang mereka tetap yakin bahwa bisnis yang dilakukan secara etis akan menguntungkan. Hampir senada, etika bisnis itu sebenarnya sama saja dengan proses investasi. Dengan itu maka akan diperoleh return on investment in ethics berupa kejujuran,kedisiplinan,ketrampilan karyawan, dan keharmonisan kerja yang mampu meningkatkan produktivitas. Sementara di kalangan manajer dan pimpinan akan berkembang aktualisasi diri dan sikap yang lebih bijak.
message
name
EQ dan Kesuksesan Kerja
EQ dan Kesuksesan Kerja Daniel Goleman dalam bukunya "Emotional Intelligence: Why it Can
Matter More than IQ" (Bantam, 1995) mengatakan bahwa untuk mencapai
kesuksesan dalam pekerjaan dibutuhkan bukan hanya "cognitive
intelligence" tetapi juga "emotional intellegence".
Emotional intellegence atau disingkat EQ adalah kemampuan untuk untuk
mengendalikan hal-hal negatif seperti kemarahan dan keragu-raguan atau rasa
kurang percaya diri dan juga kemampuan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal
positif seperti rasa percaya diri dan keharmonisan dengan orang-orang
disekeliling. Dalam buku berikutnya, "Working With Emotional
Intelligence", Goleman menekankan perlunya emotional intelligence
dalam dunia kerja, suatu bidang yag seringkali dianggap lebih banyak menggunakan
"cara berpikir analitis" daripada melibatkan perasaan atau emosi.
Menurutnya setiap orang dalam perusahaan atau organisasi dituntut untuk
memiliki EQ yang tinggi. Selain itu Goleman berpendapat bahwa IQ bersifat
relatif tetap, sementara EQ dapat berubah sehingga bisa dibentuk dan
dipelajari.
Pro dan Kontra
Pendapat Goleman mendapatkan banyak tanggapan pro dan kontra di kalangan para Psikolog. Beberapa Psikolog memandang pendapat Goleman sangat penting bagi bagi pengembangan ketrampilan atau keahlian dalam suatu pekerjaan, sementara yang lain menganggap bahwa validitas EQ yang menunjang terbentuknya suatu ketrampilan dan keahlian belum terbukti. Ada juga yang tidak sependapat bahwa EQ dapat diajarkan. Bagi mereka hanya kemampuan kognitif dan ketrampilan teknis yang merupakan hal utama yang dapat membuat seseorang menjadi sukses dalam pekerjaan.
Pro dan Kontra
Pendapat Goleman mendapatkan banyak tanggapan pro dan kontra di kalangan para Psikolog. Beberapa Psikolog memandang pendapat Goleman sangat penting bagi bagi pengembangan ketrampilan atau keahlian dalam suatu pekerjaan, sementara yang lain menganggap bahwa validitas EQ yang menunjang terbentuknya suatu ketrampilan dan keahlian belum terbukti. Ada juga yang tidak sependapat bahwa EQ dapat diajarkan. Bagi mereka hanya kemampuan kognitif dan ketrampilan teknis yang merupakan hal utama yang dapat membuat seseorang menjadi sukses dalam pekerjaan.
John Mayer, seorang psikolog dari University of
New Hampshire, mendefinisikan EQ secara lebih sederhana. Menurut Mayer, EQ
adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara mengendalikan emosi
diri sendiri. Sementara Goleman mendefinisikan EQ secara lebih luas, termasuk
optimisme, kesadaran, motivasi, empati dan kompetensi dalam melakukan hubungan
sosial. Bagi Mayer, traits (kecenderungan) tersebut lebih merupakan
kecenderungan kepribadian. Hal tersebut juga didukung oleh Edward Gordon, yang
mengatakan bahwa EQ lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan "mood"
(suasana hati) yang tidak dapat diubah. Menurut Gordon, perbaikan kemampuan
analisis dan kemampuan kognitif, adalah cara terbaik untuk meningkatkan kinerja
para pekerja. Menanggapi kritikan tersebut, Goleman mengatakan bahwa kemampuan
kognitif mengantarkan seseorang ke "pintu gerbang suatu perusahaan",
tetapi kemampuan emosional membantu seseorang untuk mengembangkan diri setelah
diterima bekerja dalam sebuah perusahaan. EQ merupakan faktor yang sama
pentingnya dengan kombinasi kemampuan teknis dan analisis untuk menghasilkan
kinerja optimal. Semakin tinggi jabatan seseorang dalam suatu perusahaan,
semakin crucial peran EQ.
EQ dalam Dunia Kerja
Secara khusus, para pemimpin perusahaan membutuhkan EQ tinggi karena mereka mewakili organisasi, berinteraksi dengan banyak orang baik di dalam maupun di luar organisasi dan berperan penting dalam membentuk moral dan disiplin para pekerja. Pemimpin yang memiliki empati akan dapat memahami kebutuhan para pegawainya dan dapat memberikan feedback yang konstruktif . Jenis pekerjaan juga berpengaruh terhadap jenis EQ. Menurut Goleman, untuk dapat sukses dibidang sales dituntut kemampuan berempati guna mengetahui "mood" pelanggan dan kemampuan interpersonal guna memutuskan kapan saat yang paling tepat untuk menawarkan suatu produk dan kapan harus diam. Di lain pihak, untuk dapat sukses menjadi seorang pelukis atau petenis professional individu dituntut untuk memiliki disiplin diri dan motivasi yang tinggi.
Mengajarkan EQ
Nilai mendasar yang mau dikembangkan dengan menampilkan EQ dalam dunia kerja adalah implikasinya terhadap penyelenggaraan pelatihan-pelatihan. Dengan memperhatikan bahwa EQ berperan aktif bagi kesuksesan seseorang dalam bekerja maka organisasi perlu melakukan pelatihan-pelatihan EQ. Pada area ini para psikolog dapat mengambil peran besar untuk membantu individu dalam membangun kompetensi emosional yang dibutuhkan oleh pekerjaannya. "EQ mempengaruhi semua aspek yang berhubungan dengan pekerjaan. Bahkan ketika anda bekerja seorang diri, keberhasilan anda akan sangat tergantung pada seberapa besar tingkat kedisiplinan dan motivasi anda sendiri". (jp)
_____________________________
EQ dalam Dunia Kerja
Secara khusus, para pemimpin perusahaan membutuhkan EQ tinggi karena mereka mewakili organisasi, berinteraksi dengan banyak orang baik di dalam maupun di luar organisasi dan berperan penting dalam membentuk moral dan disiplin para pekerja. Pemimpin yang memiliki empati akan dapat memahami kebutuhan para pegawainya dan dapat memberikan feedback yang konstruktif . Jenis pekerjaan juga berpengaruh terhadap jenis EQ. Menurut Goleman, untuk dapat sukses dibidang sales dituntut kemampuan berempati guna mengetahui "mood" pelanggan dan kemampuan interpersonal guna memutuskan kapan saat yang paling tepat untuk menawarkan suatu produk dan kapan harus diam. Di lain pihak, untuk dapat sukses menjadi seorang pelukis atau petenis professional individu dituntut untuk memiliki disiplin diri dan motivasi yang tinggi.
Mengajarkan EQ
Nilai mendasar yang mau dikembangkan dengan menampilkan EQ dalam dunia kerja adalah implikasinya terhadap penyelenggaraan pelatihan-pelatihan. Dengan memperhatikan bahwa EQ berperan aktif bagi kesuksesan seseorang dalam bekerja maka organisasi perlu melakukan pelatihan-pelatihan EQ. Pada area ini para psikolog dapat mengambil peran besar untuk membantu individu dalam membangun kompetensi emosional yang dibutuhkan oleh pekerjaannya. "EQ mempengaruhi semua aspek yang berhubungan dengan pekerjaan. Bahkan ketika anda bekerja seorang diri, keberhasilan anda akan sangat tergantung pada seberapa besar tingkat kedisiplinan dan motivasi anda sendiri". (jp)
_____________________________
ETIKA BISNIS DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pendahuluan
Minggu-minggu ini, kita sedang disibukan dengan berbagai kenyataan banyaknya konsumen yang dirugikan akibat
mengkonsumsi makanan-makanan yang ternyata mengandung zat-zat yang merusak tubuh bahkan dapat mematikan. Kasus
keracunan anak-anak SD di Madiun, di Semarang akibat menkonsumsi jajanan, es
lilin dan lain-lain.
Makanan-makanan yang mengandung formalin (cairan
yang dikenal berfungsi sebagai pengawet), borak dan lain-lain. Baso, tahu, ikan
asin, mie basah, tidak sedikit yang
menggunakan formalin, bahkan ada pula
baso yang terbuat dari daging sapi
yang dicampur daging tikus.
Sederet kasus-kasus di atas, memperlihatkan
minimnya atau ketiadaan Perlindungan Konsumen. Model pengawasan yang dilakukan
oleh Pemerintah selama ini dirasakan sangat
jauh dari optimal. Demikian pula
sosialisasi kepada masyarakat
mengenai zat-zat yang merusak kesehatan tubuh seperti formalin itu. Tidak
sedikit di antara produsen home-home industri
makanan kecil mengaku menggunakan bahan pengawet formalin karena tidak
tahu. Efek dari berita-berita demikian, mengakibatkan kerugian pada sebagian
besar para pedagang baso, tahu, ikan
asin yang mungkin saja sebenarnya mereka tidak menggunakan formalin. Kondisi di
atas, pada dasarnya memperlihatkan tentang kelemahan sistem perekonomian.
Eksistensi Konsumen
Pada dasarnya kebanyakan di antara
kita adalah konsumen. Konsumen pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi
konsemen rasional dan konsumen irrasional.
Konsumen berasal dari bahasa Belanda; konsement yang berarti
pengguna terakhir dari benda atau jasa yang diserahkan oleh pengusaha.
Pengusaha di sini meliputi produsen dan pedagang perantara. Dalam pengertian sempit konsumen terbatas
kepada mereka yang secara kontraktual mempunyai hubungan hukum dengan
pengusaha. Sedangkan dalam pengertian yang luas konsumen meliputi semua pihak
yang mengkonsumsi suatu produk baik berupa barang atau jasa, terlepas ada
hubungan kontraktual dengan pengusaha atau tidak. Antara konsumen dengan pengusaha
mempunyai hubungan timbal balik. Hak konsumen merupakan kewajiban pengusaha,
sebaliknya kewajiban pengusaha merupakan hak konsumen.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi
memainkan peranan penting. Keberadaan konsumsi akan mendorong terjadinya produksi
dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian. Bayangkanlah jika suatu saat, masyarakat
tidak memiliki kemampuan untuk membeli atau membayar suatu barang yang
diproduksi? Meskipun produsen berargumen barang sesuai dengan need konsumen,
namun tetap tidak akan melahirkan demand tanpa adanya kemampuan daya
beli konsumen. Tanpa adanya daya beli konsumen, produksi akan terhenti,
dan ekonomi akan mati (Mukhammad
Najib,2003)
Dalam
realitas empirik, hidup dan matinya sebuah proses ekonomi ternyata tidak
sesederhana seperti digambarkan di atas. Sudah tabiat produsen untuk berusaha
sekuat tenaga “mengeksploitasi” need konsumen dan mengkonversinya
menjadi demand. Dengan promosi
yang gencar, sistem pembayaran yang “merangsang” serta hadiah-hadiah yang
ditawarkan, konsumen seakan tidak memiliki alasan untuk tidak mempunyai daya
beli. Sistem kredit misalnya, merupakan bagian dari upaya produsen dalam
memprovokosi konsumen agar terus membeli, sampai akhirnya perilaku konsumsi
mereka menjadi lepas kendali.
Perlindungan Konsumen
Secara
historis perlindungan konsumen bukan hal baru. Setidak-tidaknya Plato
(425-347SM) telah melarang keras para penjual bahan makanan yang menentukan harga, menyamaratakan harga
tanpa mempertimbangkan perbedaan mutu bahan yang baik dengan bahan yang buruk.
Tahun
1906 di Amerika terbit sebuah buku yang berjudul the Jungle karangan
Upton Sinclair yang memaparkan tentang kejelekan pengolahan daging di industri makanan. Dampak dari buku ini
selain membuat gempat masyarakat, telah memaksa pemerintah mengeluarkan
peraturan –peraturan untuk melindungi kepentingan konsumen.
Di
Eropa perlindungan konsumen dimulai
tahun 190-an. Hal ini ditandai dengan 1) dibuatnya peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan
konsumen. 2) tumbuhnya organisasi masyarakat secara swadaya yang khusus
bergerak dalam bidang perlindungan konsumen.
Di
Indonesia isu ini baru muncul pada tahun 1970-an. Namun hingga kini penanganan
perlindungan konsumen baru terbatas pada tumbuhnya berbagai organisasi
perlindungan konsumen seperti YLKI. Pada saat ini kita mengenal adanya PPOM,
LPOM, LPOM-MUI dan lain-lain.
Dengan
kasus-kasus ketiadaan perlindungan konsumen di Indonesia, maka merupakan agenda
yang mendesak untuk mengatasinya. Beberapa tahapan di bawah ini merupakan
alternati ftawaran;
1.
Memperkuat peran dan fungsi
badan-badan atau organisasi perlindungan
konsumen untuk menjaga dan mengantisipasi perlindungan konsumen.
2.
Pemerintah harus secara
bertahap tetapi terus menerut mengelurkan peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan konsumen dalam berbagai aspeknya.
3.
Pemerintah atau swasta
mensosialisasikan pernjanjian standar
atau standar baku dalam setiap transaksi
yang mengedepankan perlindungan konsumen. Bukan standar sepihak yang ditetapkan
perusahaan tetapi merugikan konsumen.
4.
Pemerintah atau swasta mensosialisasikan unsur-unsur atau
bahan-bahan tertentu yang tidak boleh digunakan dalam industri besar maupun
kecil seperti borak, formalin dan lain-lain dan menggantinya dengan bahan-bahan
yang aman.
5.
Meningkatkan pengawasan
terhadap praktek-praktek yang merugikan konsumen di kalangan masyarakat dan
menyalurkannya ke badan-badan yang terkait untuk menuntaskannya
6.
Pemerintah harus konsisten
dalam melakukan tindakan hukum terhadap mereka yang melakukan pelanggaran
tentang perlindungan konsumen.
Arahan Islam tentang Perilaku Konsumsi
Islam
memberikan rambu-rambu berupa arahan-arahan positif dalam berkonsumsi.
Setidaknya terdapat dua batasan dalam hal ini: Pertama, pembatasan dalam
hal sifat dan cara. Seorang muslim mesti sensitif terhadap sesuatu yang
dilarang oleh Islam. Mengkonsumsi produk-produk yang jelas keharamannya harus
dihindari, seperti minum khamr dan makan daging babi. Seorang muslim harus
senantiasa mengkonsumsi sesuatu yang pasti membawa manfaat dan maslahat,
sehingga jauh dari kesia-siaan. Karena kesia-siaan adalah kemubadziran, dan hal
itu dilarang dalam Islam (QS. 17 : 27)
Kedua,
pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi. Islam melarang umatnya
berlaku kikir yakni terlalu menahan-nahan harta yang dikaruniakan Allah SWT
kepada mereka. Namun Allah juga tidak menghendaki umatnya membelanjakan harta
mereka secara berlebih-lebihan di luar kewajaran (QS. 25 : 67, 5 : 87).
Dalam
perilaku konsumsi, Islam sangat menekankan kewajaran dari segi jumlah, yakni
sesuai dengan kebutuhan. Dalam bahasa yang indah Al-Quran mengungkapkan “Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya…”(QS. 17 : 29).
Adapun
arahan Islam dalam perilaku konsumsi
paling tidak ada tiga hal. Pertama, jangan boros. Seorang muslim
dituntut untuk selektif dalam membelanjakan hartanya. Tidak semua hal yang
dianggap butuh saat ini harus segera dibeli. Karena sifat dari kebutuhan
sesungguhnya dinamis, ia dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Seorang pemasar
sangat pandai mengeksploitasi rasa butuh seseorang, sehingga suatu barang yang
sebenarnya secara riil tidak dibutuhkan tiba-tiba menjadi barang yang seolah
sangat dibutuhkan. Contoh sederhana air mineral. Dahulu orang tidak terlalu
membutuhkannya. Namun karena perusahaan rajin “memprovokasi” pasar, kini hampir
di setiap rumah kita ada air mineral.
Kedua,
menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan. Seorang muslim hendaknya mampu
menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluarannya, sehingga sedapat mungkin
tidak berutang. Karena utang, menurut Rasulullah SAW akan melahirkan keresahan
di malam hari dan mendatangkan kehinaan di siang hari. Ketika kita tidak
memiliki daya beli, kita dituntut untuk lebih selektif lagi dalam memilih,
tidak malah memaksakan diri sehingga terpaksa harus berutang. Hal ini tentu
bertentangan dengan perilaku produktif. Kita telah merasakan: keresahan,
kehinaan, serta kehilangan kemerdekaan sebagai satu bangsa akibat jerat utang.
Ketiga, tidak
bermewah-mewahan. Islam melarang umatnya hidup dalam kemewahan (QS. 56 : 41-46)
Kemewahan yang dimaksud menurut Yusuf Al Qardhawi adalah tenggelam dalam
kenikmatan hidup berlebih-lebihan dengan berbagai sarana yang serba
menyenangkan.
Dengan
demikian, perilaku konsumsi, sesuai arahan Islam di atas menjadi lebih terasa
urgensinya pada kehidupan saat ini. Krisis ekonomi yang belum juga reda bertemu
dengan harga-harga yang melambung tinggi, menuntut kita untuk selektif dalam
berbelanja. Islam tidak melegitimasi momen apapun yang boleh digunakan untuk
mengkonsumsi secara berlebihan apalagi di luar batas kemampuan
Bagi
mereka yang memiliki uang berlebih mungkin berfikir, mengapa Islam harus
membatasi hak orang? Pada prinsipnya Islam sangat menghargai hak individu dalam
mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah SWT sepanjang pelaksanaannya
tidak mengganggu kepentingan umum. Dalam riwayat, Khalifah Umar bin Khattab
pernah melarang konsumsi daging dua hari berturut-turut dalam sepekan, karena
persediaan daging tidak mencukupi semua orang di Madinah. Demikian pula terjadi
pada zaman Nabi Yusuf, ketika terjadi swasembada selama tujuh tahun, masyarakat
tidak diperkenankan mengkonsumsi secara berlebihan (QS. 12:47-48).
Pembatasan
di masa krisis sesungguhnya dapat menjaga stabilitas sosial serta menjamin
terpenuhinya rasa keadilan, karena mereka yang punya kuasa atas harta tidak
bisa secara sewenang-wenang menimbun bahan pangan di rumahnya.