Pendahuluan
Bahasan pada bagian ini dimaksudkan sebagai
upaya identifikasi praktek-praktek bisnis dari sudut pandang etika bisnis.
Paling tidak terdapat tiga ukuran atau standar untuk menentukan dan menetapkan
suatu perilaku atau praktek bisnis termasuk kategori praktek mal bisnis yaitu
ukuran atau standar al-bathil, alfasad dan adzalim. Ketiga ukuran itu
tidak harus ketiganya melekat pada suatu praktek atau proses bisnis, karena
satu standar saja, melekat pada praktek bisnis sudah dapat dikategorikan
sebagai praktek mal bisnis.
Mal Bisnis,
Bagaimanakah
karakteristik dan jenis-jenis praktek mal bisnis? Praktek mal-bisnis dalam
pengertiannya mencakup semua perbuatan
bisnis yang tidak baik, jelek, sia-sia, membawa akibat kerugian, maupun
melanggar hukum (business crimes, business tort, ecomomic crimes atau
disebut juga white collar crimes)
(Suwantoro 1990: 20-21).
Adapun di antara jenis-jenis praktek mal-bisnis
yang tertera dalam al-Qur’an adalah pengurangan timbangan atau takaran,
penimbunan, bisnis yang didamnya terdapat gharar, riba dan lain-lain. Untuk
mengungkap karakteristik praktek mal bisnis, karena realitas jenis-jenis bisnis
kini semakin berkembang dan bervariasi maka,
dapat dilakukan dengan cara mengungkap karakter-karakter yang selalu
terdapat dalam praktek mal bisnis. Dalam tulisan ini, prinsip al-bathil,
adz-dzalim dan al-fasad diasumsikan sebagai karakter yang menyatu dalam praktek
mal-bisnis baik secara sendiri-sendiri atau sekaligus.
Al-Qur’an
sebagai sumber nilai, telah memberikan nilai-nilai prinsipil untuk mengenali
perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an sendiri. Dalam
al-Qur’an terdapat terma-terma, al-bathil,
al-fasad dan azh-zhalim
yang dapat difungsikan sebagai landasan-landasan atau muara perilaku yang
bertentangan dengan nilai perilaku yang dibolehkan atau dianjurkan al-Qur’an
khususnya dalam dunia bisnis. Hal ini beralasan bahwa beberapa ayat yang
mempunyai kandungan tentang bisnis, seringkali mengunakan terma-terma di atas
ketika menjelaskan tentang perilaku bisnis yang buruk.
Al-Bathil
Al-bathil dalam al-Qur’an
terdapat sebanyak 36 kali dalam berbagai derivasinya. Bathala disebut satu kali dalam surat al-A’raf (7): 11, tubthilu dua kali dalam surat
al-Baqarah (2): 264 dan Muhammad (47): 33,
yubthilu, satu kali
dalam al-Anfal (8): 8 dan sayubthiluhu, satu kali dalam
Yunus (10): 81. Dibanding bentuk-bentuk lainnya bentuk bathilun disebut paling banyak yaitu 24 kali dalam al-Qur’an. Bathilan,
disebut dua kali dan al-mubthilun
disebut lima kali (Baqi, 1981:123-124).
Menurut pengertiannya, al-bathil yang berasal dari kata
dasar bathala, berarti fasada atau rusak, sia-sia, tidak
berguna, bohong. Al-Bathil
sendiri berarti; yang batil, yang salah, yang palsu, yang tidak berharga, yang
sia-sia dan syaitan (al-Munawwir, 1984:
99-100).
Menurut
ar-Raghib al-Asfahani, al-bathil berarti lawan dari
kebenaran yaitu segala sesuatu yang tidak mengandung apa-apa di dalamnya ketika
diteliti atau di periksa atau sesuatu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia
maupun di akhirat (1961: 50-51). Menurut a-Maraghi, al-bathil berasal dari al-buthlu
dan al-buthlan, berarti kesia-siaan
dan kerugian, yang menurut syara’ mengambil harta tanpa pengganti hakiki dan
tanpa keridlaan dari pemilik harta yang diambil tersebut (1998:V: 24). Al-fasad sendiri yang berasal
dari kata dasar f-s-d berarti
kerusakan, kebusukan, yang tidak sah, yang batal(al-Munawwir, 1984: 1133), lawan dari perbaikan, atau sesuatu yang
keluar dari keadilan baik sedikit maupun banyak, atau juga kerusakan yang
terjadi pada diri manusia, benda dan lain-lain (al-Asfahani, 1961: 379).
Penggunaan al-bathil dalam konteks bisnis tersebut
dalam al-Qur’an sebanyak empat kali. Pertama
dalam surat al-Baqarah (2): 188, ditegaskan bahwa sifat kebatilan seringkali digunakan untuk
memperoleh harta benda secara sengaja. Bahkan untuk memperkuat kebatilannya
sampai mengelabui lembaga hukum. Al-Qur’an menegaskan, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kami dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” Secara
historis sosiologis ayat ini turun berkenaan dengan kasus Imriil Qais bin ‘Abis
dan ‘Abdan bin Asyma’ al-Hadlrami yang bertengkar dalam persoalan tanah.
Imri’il Qais berusaha mendapatkan tanah itu menjadi miliknya dengan bersumpah
di depan hakim (Shaleh, 1975: 55.) Dengan demikian ayat in merupakan peringatan
keras kepada orang-orang yang merampas hak orang lain dengan jalan batil.
Secara tegas ayat
ini menjelaskan praktek bisnis dan ekonomi yang tidak dibenarkan oleh
al-Qur’an. Kemudian pada ayat kedua, yaitu dalam surat an-Nisa (4): 29,
ditegaskan larangan bisnis yang dilakukan dengan proses kebatilan. Khitab ayat
ini secara langsung ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Al-Qur’an
mengatakan yang artinya “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang dan kepadamu.”
Pada
ayat ini, penyebutan al-bathil
diletakkan sebagai lawan dari perniagaan yang dilakukan dengan saling kerelaan
dan tanpa ada pihak yang dirugikan. Lanjutan ayat ini menjelaskan pula bahwa,
yang berbuat kebatilan adalah telah melanggar hak dan berbuat aniaya dan
termasuk dosa besar (QS. an-Nisa (4): 30). Jika kita dapat menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan tersebut, maka akan selamat dan mendapat kemuliaan (QS.
an-Nisa (4): 31).
Pada
ayat ketiga, yaitu dalam surat an-Nisa (4): 160-161; al-bathil disebutkan dalam konteks kezhaliman kaum Yahudi yang suka
melakukan riba dan memakan harta orang lain dengan jalan batil. Pada ayat keempat disebutkan bahwa kebatilan dalam
bisnis telah banyak dilakukan baik dengan menghalang-halangi dari jalan Allah,
menimbun harta atau tidak mengeluarkan infak. Lihat dalam surat QS. at-Taubah
(9): 34. Tujuan utama dan pertama dari perolehan harta adalah memenuhi
kebutuhan pangan, karena itulah pada ayat ini digunakan kata “makan” dalam arti
memperoleh harta dan mengunakan atau membelanjakannya. Harta seharusnya memiliki
fungsi sosial, sehingga ketika dimiliki seseorang dimiliki pula oleh selainnya,
baik melalui zakat maupun sedekah. Pengembangan harta tidak akan terwujud
kecuali melalui interaksi antar sesama dalam berbagai bentuknya. Inilah
maknananya kenapa pada ayat yang
menyangkut harta digunakan kata bainakum (Shihab, 2000: 386-387). Menurut
Thabathaba’i seperti dikutip Quraish Shihab, bainakum mengandung makna adanya semacam himpunan di antara sesama
atas harta, dan harta itu berada di tengah mereka (2000: 392-393).
Lebih
lanjut al-Maraghi menjelaskan ayat di atas sebagai dasar-dasar kaidah keadilan
tentang harta benda dalam Islam, pertama,
harta individu adalah harta umat dengan menghargai pemilikan dan memelihara
hak-haknya. Orang yang mempunyai banyak harta diwajibkan hak-hak tertentu demi
maslahat-maslahat umum misalnya, memberikan pertolongan, berbuat
kebajikan, atau memberikan manfaat dari
hartanya kepada orang yang tidak punya. Islam mewajibkan untuk menghilangkan
kesusahan orang yang “terpaksa”, sebagaimana mewajibkan di dalam harta mereka,
hak-hak bagi para fakir miskin. Kedua,
Islam tidak membolehkan orang-orang yang membutuhkan, mengambil harta dari
pemiliknya tanpa seizin mereka. Selain itu, ayat ini mengisaratkan pula tentang tiga faidah;
pertama, dasar halalnya
perniagaan adalah saling meridlai (kerelaan) antara pembeli dan penjual. Kedua, segala yang ada di dunia berupa
perniagaan dan apa yang tersimpan di dalam maknanya seperti kebatilan yang
tidak kekal dan tetap, hendaknya tidak melalaikan orang yang berakal untuk mempersiapkan diri demi
kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal. Ketiga, mengisyaratkan bahwa sebagian besar jenis perniagaan
mengandung makna memakan harta dengan jalan batil (2000: 36-37).
Dengan
demikian dapat dicatat bahwa surat an-Nisa (4): 29 merupakan kaidah umum
tentang transaksi di dalam harta sebagai pembersihan bagi jiwa di dalam
mengumpulkan harta yang dicintai. Kebatilan dalam harta benda berarti mengambil
harta tanpa penganti, tanpa keridlaan pemiliknya, atau menafkahkan harta bukan
pada jalan benar yang bermanfaat (Al-Maraghi,1998:V: 24-25.)
Di
sinilah posisi strategisnya etika bisnis, untuk
menjaga pengelolaan dan pengembangan harta benda yang sangat dibutuhkan
oleh masyarakat dari jalan kebatilan. Harta benda tidak ubahnya seperti ruh,
karena itu hendaknya dijaga dan tidak dirusak dengan jalan batil. Merampas
harta benda dan hal-hal yang berhubungan dengannya melalui jalan batil sama
saja dengan membunuh diri sendiri, bahkan sama dengan membunuh masyarakat secara
keseluruhan (Shihab, 2000: 393).
Al-Fasad
Prinsip
kedua dari praktek mal bisnis adalah al-fasad.
Terma ini disebut 48 kali dalam al-Qur’an. Derivasi yang dipakai adalah; lafasadat, lafasadata, afsaduha, latufsidunna, tufsidu,
linufsida, yufsida, liyufsidu, yufsidun, al-fasad, fasadan,
al-mufsidun, mufsidi n. Dari bentuk-bentuk tersebut yang paling banyak digunakan adalah mufsidi
n, sebanyak 18 kali, al-fasad, 8 kali, yufsidun, 5 kali, tufsidu, 4 kali, fasadan
3 kali, lafasadat, yufsidu,
al-mufsidun, masing-masing 2 kali dan selainnya masing-masing satu
kali (Baqi, 1981: 518-519). Dalam
penggunaannya terma al-fasad
kebanyakan mempunyai pengertian kebinasaan, kerusakan, membuat kerusakan (yang
rugi), kekacauan di muka bumi, menimbulkan kerusakan, atau mengadakan kerusakan
di muka bumi. Misalnya dalam QS. Al-Baqarah (2): 27, 205, al-Maidah (5): 32,
al-Anfal (8): 73, Hud (11): 116, ar-Ra’d (13): 25, an-Nahl (16): 88, as-Syu’ara
(26): 152, an-Naml (27): 48, al-Qashash (28): 77, ar-Rum (30): 41, al-Mukmin
(30): 41, al-Fajr (89): 12.
Dalam surat Hud
(11): 85 ditegaskan bahwa mengurangi takaran dan timbangan merupakan
kedzaliman. Demikian pula dalam surat QS. al-A’raf (7): 85, atau QS
al-Baqarah(2): 205, ditegaskan tentang
perintah menyempurnakan takaran dan timbangan disandingkan dengan
larangan mengadakan kerusakan (kedzaliman ) di muka bumi.
Di tempat lain pada
surat al-Maidah (5): 32 al-Qur’an menyatakan bagaimana besar dan luasnya akibat
yang ditimbulkan oleh suatu kezaliman, …barang
siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan barang siapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya.
Dari
ayat-ayat di atas dapat diambil pemahaman bahwa perbuatan yang mengakibatkan
kerusakan atau kebinasaan, walaupun kelihatannya sedikit dianggap oleh
al-Qur’an sebagai kerusakan yang banyak. Mengurangi hak atas suatu barang
(komoditas) yang didapat atau diproses dengan menggunakan media takaran atau
timbangan dinilai al-Qur’an seperti telah membuatan kerusakan di muka bumi.
Memelihara kehidupan seseorang dinilai al-Qur’an sebagai memelihara manusia
secara keseluruhan. Demikian pula maka memelihara seseorang manusia dari
kekurangan pangan dapat bernilai telah memelihara kekurangan pangan seluruh
manusia. Dari penilaian ini, al-Qur’an selalu memberlakukan penilaian berlipat
ganda, bahkan berlipat-lipat terhadap perbuatan-perbuatan yang membawa
konsekuensi sosial kemasyarakatan. Hal
ini dapat dimaknai pula bahwa al-Qur’an sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kesetimbangan (sosial-ekonomi), keselamatan dan kebaikan. Sebaliknya sangat
tidak menyetujui terhadap adanya kerusakan dan ketidaktimbangan..
Azh-Zhalim
Selain al-bathil dan al-fasad, terma azh-zhulm, mempunyai hubungan makna yang
erat, terutama dalam konteks bisnis dan ekonomi yang bertentangan dengan etika
bisnis. Azh-zulm terambil dari kata dasar zh-l-m bermakna, meletakkan
sesuatu tidak pada tempatnya, ketidakadilan, penganiayaan, penindasan, tindakan
sewenang-wenang, kegelapan (al-Munawwir, 1984: 946-947).
Zhalim
adalah tidak adanya cahaya, merupakan gambaran dari kebodohan, kesyirikan,
kefasikan lawan dari cahaya, misalnya terdapat dalam QS Ibrahim (14): 1.
Menurut ahli bahasa dan kebanyakan ulama, zhalim adalah menempatkan sesuatu
bukan pada tempatnya, baik mengurangi atau melebihi dari sisi waktu ataupun tempat (materi
ataupun non materi). Dalam konteks hukum menurut ar-Raghib, kezhaliman dibagi
tiga; pertama, kezhaliman manusia
terhadap Allah seperti kufur, syirik, nifak misalnya dalam QS. Hud (11): 18,
az-Zumar (39): 32. Kedua, kezhaliman
antar sesama manusia. Hal ini diantaranya seperti dijelaskan dalam surat
al-Isra (17): 33 dan as-Syura (42): 42. Dan ketiga,
kezhaliman terhadap diri sendiri (al-Asfahany, 1961: 315-316).
Dalam konteks
hubungan kemanusiaan, al-Qur’an pada beberapa tempat menyatakan kandungan makna
kezhaliman sebagai landasan praktek yang berlawanan dengan nilai-nilai etika,
termasuk dalam mal bisnis. Dalam
al-Baqarah (2): 279, al-Qur’an mengatakan, bahwa kita seharusnya tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya oleh pihak lain. “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari mengerjakan riba) maka bagimu pokok (modal) hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya.
Dalam
surat QS Ibrahim (14): 34, dinyatakan bahwa manusia seringkali berlaku zhalim
terhadap sesama dan mengingkari nikmat
yang telah dianugrahkan Allah. Demikian pula dalam QS. asy-Syura (42):42.
Kezhaliman telah banyak dilakukan manusia, misalnya menghalangi dari jalan
Allah, memakan riba, memakan harta dengan jalan bathil Padalah Allah sama
sekali tidak pernah berbuat aniaya terhadap manusia. Al-Qur’an menyatakan, yang
artinya; Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi,
Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari
jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba… dan karena mereka memakan
harta dengan orang dengan jalan bathil.
(QS. an-Nisa (4):160-161).
Dari
paparan ayat-ayat zalim di atas dapat dipahami bahwa kezhaliman pada hakikatnya
membawa akibat kerugian baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.
Kezaliman pada sesama dinilai oleh al-Qur’an sebagai kezaliman pada Allah.
Dengan demikian
dari pemahaman al-bathil, al-fasad
dan az-zalim di atas dihubungkan
dengan pengertian hakikat bisnis, dapat diambil benang merah bahwa salah satu
landasan praktek mal bisnis adalah setiap praktek bisnis yang mengandung unsur
kebatilan, kerusakan dan kezaliman baik sedikit maupun banyak, tersembunyi
maupun terang-terangan. Dapat menimbulkan kerugian secara material maupun
immateri baik bagi si pelaku, pihak lain maupun masyarakat. Dapat menimbulkan
ketidakseimbangan dan ketidakadilan. Menimbulkan akibat-akibat moral maupun
akibat hukum yang mengikutinya, baik menurut hukum agama maupun hukum positip.
Namun demikian penilaian terhadap suatu praktek mal bisnis tidak disyaratkan
adanya tiga landasan kebatilan, kerusakan dan kezhaliman sekaligus, melainkan
adanya salah satu dari ketiga landasan di atas secara otomatis telah memasukan suatu aktivitas maupun entitas
bisnis ke dalam kategori praktek mal bisnis.
Perilaku-perilaku
seperti riba, mengurangi timbangan atau takaran, penipuan (tadlis), gharar, skandal, korupsi dan kolusi, monopoli serta penimbunan, merupakan perilaku-perilaku
yang bertentangan dengan etika bisnis, yang kesemuanya mengandung
prinsip-prinsip al-batil, al-fasad
dan az-zalim.
Dari paparan ketiga
landasan paktek mal bisnis di atas, maka prinsip-prinsip etika bisnis al-Qur’an
adalah;
1. Kesatuan
(unity)
Yang
dimaksud kesatuan adalah kesatuan
sebagaimana terefleksi dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan
aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial,
menjadi suatu “homogeneous whole”
atau keseluruhan homogen, serta mementingkan konsep konsensistensi dan
keteraturan yang menyeluruh. (Naqvi, 1993: 50-51). Tauhid merupakan konsep
serba ekslusif dan serba inklusif. Pada tingkat absolut ia membedakan Khalik
dengan makhluk, memerlukan penyerahan tanpa syarat kepada kehendak-Nya, tetapi
pada eksistensi manusia memberikan suatu prinsip perpaduan yang kuat sebab
seluruh umat mansuia dipersatukan dalam ketaatan kepada Allah semata. (Naqvi,
1993: 78).
Atas
dasar pandangan konsep tersebut, maka etika dan ekonomi atau etika dan bisnis
menjadi terpadu, vertikal maupun horizontal, membentuk suatu persamaan yang
sangat penting dalam sistem Islam yang homogen
yang tidak mengenal kekusutan dan keterputusan.(Naqvi, 1993: 50-51).
Berdasarkan
prinsip kesatuan, Beekun juga Fuad Yusuf, pengusaha muslim dalam melakukan
aktivitas maupun entitas bisnisnya tidak akan melakukan paling tidak tiga hal
(1997: 20-23, 1997:14-15): pertama, diskriminasi diatara pekerja, penjual,
pembeli, mitra kerja atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin
atau agama (QS al-Hujurat (49): 13.) Kedua,
terpaksa atau dipaksa melakukan praktek-praktek mal bisnis karena hanya
Allah-lah yang semestinya ditakuti dan dicintai. (QS al-An’am (6): 163.) Ketiga, menimbun kekayaan atau serakah,
karena hakikatnya kekayaan merupakan amanah Allah. (QS al-Kahfi (18): 46.)
2.
Kesetimbangan (keadilan)
Kesetimbangan (equiblirium) atau keadilan
menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan
keseluruhan harmoni pada alam semesta. Hukum dan tatanan yang kita lihat pada
alam semesta mencerminkan kesetimbangan yang harmonis. (Beekun, 1997: 23.)
Tatanan ini pula yang dikenal dengan sunnatullah
(as-Shadr, 1993: 91).
Sifat kesetimbangan
atau keadilan bukan hanya sekedar karakteristik alami, melainkan merupakan
karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam
kehidupannya. Kebutuhan akan sikap
kesetimbangan atau keadilan ini ditekankan oleh Allah dengan menyebut umat
Islam sebagai ummatan wasathan.
(Beekun, 1997: 23) Ummatan wasathan
adalah umat yang memiliki kebersamaan, kedinamisan dalam gerak, arah dan
tujuannya serta memiliki aturan-aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah
atau pembenar. (Soetapa, 1991: 9-16,
Syari’ati, 1992: 45-52). Dengan demikian kesetimbangan, kebersamaan,
kemoderatan merupakan prinsip etis
mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis misalnya
dijelaskan dalam al-Baqarah (2): 195, al-Furqan (25):67-68, 72-73, al-Isra (17): 35.
Dalam surat
al-Baqarah dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda (pendayagunaan harta
benda) harus dilakukan dalam kebaikan dan tidak pada sesuatu yang dapat
membinasakan diri. Kemudian harus menyempurnakan takaran dan timbangan dengan
neraca yang benar.(al-Isra (17): 35.) Dijelaskan pula bahwa ciri-ciri orang
yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka yang membelanjakan
harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak pula kikir, tidak melakukan
kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang diharamkan, tidak berzina, tidak
memberikan persaksian palsu, tidak tuli dan tidak buta terhadap ayat-ayat
Allah.(al-Furqan (25):67-68, 72-73).
Pada struktur
ekonomi dan bisnis, agar kualitas kesetimbangan dapat mengendalikan semua tindakan manusia, maka
harus memenuhi; pertama,
hubungan-hubungan dasar antara konsumsi, distribusi dan produksi harus berhenti
pada suatu kesetimbangan tertentu demi menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi
dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. Kedua, ‘keadaan’ perekonomian yang tidak konsisten dalam distribusi
pendapatan dan kekayaan harus ditolak
karena Islam menolak daur tertutup pendapatan dan kekayaan yang menjadi semakin
menyempit,
…Supaya kekayaan itu tidak hanya beredar pada
orang-orang kaya saja diantara kamu...” (QS. al-Hasyr(59): 7.)
Demikian pula,
memaksimumkan kesejahteraan ‘total’ dan tidak berhenti sampai distribusi
optimal, bertentangan dengan prinsip kesetimbangan. Eksistensi manusia adalah
makhluk teomorfis yang harus memenuhi kesetimbangan nilai yang sama antara
nilai sosial dan individual dalam masyarakat. Karena itu setiap kebahagiaan
individu harus mempunyai nilai yang sama dipandang dari sudut sosial. (Naqvi,
1993: 99-101).
Ketiga, sebagai akibat dari pengarus sikap
egalitarian yang kuat demikian, maka dalam ekonomi dan bisnis Islam tidak
mengakui adanya, baik hak milik yang tak terbatas maupun sistem pasar yang
bebas tak terkendali. Hal ini disebabkan bahwa ekonomi dan bisnis dalam
pandangan Islam bertujuan bagi penciptaan keadilan sosial.(Naqvi, 1993: 101).
Kesetimbangan sosial harus dipertahankan juga, bukan hanya mengenai bidang
material seperti distribusi kekayaan yang merata, tetapi mengenai distribusi
harga diri yang merata antara si kaya dan si miskin. Kaum hartawan tidak
diperkenankan memepertukarkan uangnya dengan harga diri kaum miskin. (Naqvi,
1993: 99). Al-Baqarah(2): 264, memberikan kesaksian atas desakan pada adanya
kualitas kesetimbangan untuk mencapai suatu kerangka sosio ekonomi yang
memadukan kehidupan ekonomi dengan kebahagiaan sosial dan spiritual. (Naqvi,
1993: 99).
3. Kehendak bebas
Kehendak bebas
merupakan kontribusi Islam yang paling orisinal dalam filsfat sosial tentang
konsep manusia “bebas”. Hanya Tuhan yang bebas, namun dalam batas-batas skema
penciptaan-Nya manusia juga secara relatif mempunyai kebebasan. (Naqvi, 1993:
82-83). Manusia sebagai khalifah di muka bumi (sampai batas-batas tertentu)
mempunyai kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan
pencapaian kesucian diri. Manusia dianugerahi kehendak bebas (free will) untuk membimbing kehidupannya
sebagai khalifah.
Berdasarkan
prinsip ini, para pelaku bisnis mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian,
termasuk menepati atau mengingkarinya. Seorang muslim yang percaya pada
kehendak Allah, akan memuliakan semua
janji yang dibuatnya.(Beekun, 1997: 24, 25, Lihat juga QS. al-Kahfi(18):
29). Dalam masalah perjanjian, baik perjanjian kepada Allah maupun perjanjian
dalam pergaulan sesama, manusia harus dapat memenuhi semua janji-janji
tersebut, seperti tersebut dalam al-Maidah(5): 1; Hai orang-orang yang beriman taatilah janji-janjimu.
Menurut
Yusuf Ali seperti dikutif Rafik terma uqud
merupakan konsep yang multidimensional. Konsep ini meliputi; (a) kewajiban
ilahi, yang mengarahkan dari spiritual dan hubungan sesama kepada Allah. (b)
kewajiban sosial. (c) kewajiban politik seperti perjanjian. (d) kewajiban
bisnis seperti kontrak-kontrak kerja
sama atau kontrak kepegawaian. Dengan landasan ini maka dalam sistem ekonomi,
Islam menolak prinsip laissez faire
dan konsep invisible hand.(Beekun,
1997: 25).
4. Pertanggungjawaban
Kebebasan tanpa
batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan
kesatuan, manusia perlu mempertanggungjawabkan tindakannya. (Beekun, 1997: 26).
Secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan prinisp kehendak bebas. Ia
menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan
bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya. (Naqvi, 1993: 86). Al-Qur’an
menegaskan,
“Barangsiapa
memberikan hasil yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian pahala. Dan
barang siapa menimbulkan akibat yang buruk, niscaya ia akan memikul
konsekuensinya.
(QS. an-Nisa(4): 85).
Dalam bidang ekonomi
dan bisnis prinsip ini dijabarkan menjadi suatu pola perilaku tertentu. Ia
mempunyai sifat berlapis ganda dan
terfokus baik pada tingkat mikro (individual) maupun tingkat makro (organisasi
dan sosial), yang kedua-duanya harus dilakukan secara bersama-sama. (Beekun,
1997: 27) Perilaku konsumsi seseorang
misalnya tidak sepenuhnya bergantung kepada
penghasilannya sendiri; ia juga harus menyadari tingkat penghasilan dan
konsumsi berbagai anggota masyarakat yang lain. (Beekun, 1997: 103). Karena itu
menurut Sayyid Qutub prinsip pertanggungjawaban Islam adalah pertanggung-jawaban
yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya. Antara jiwa dan raga,
antara person dan keluarga, individu dan sosial antara suatu masyarakat dengan
masyarakat lainnya. (Beekun, 1997: 103)
Prinsip
pertanggungjawaban ini secara mendasar akan mengubah perhitungan ekonomi dan
bisnis karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan. Hal ini
diimplementasikan paling tidak pada tiga hal; pertama, dalam menghitung margin, keuntungan nilai upah harus
dikaitkan dengan upah minimum yang secara sosial dapat diterima oleh
masyarakat. Kedua, economic return
bagi pemberi pinjaman modal harus
dihitung berdasarkan pengertian yang tegas bahwa besarnya keuntungan tidak
dapat diramalkan dengan probalitias kesalahan nol dan tak dapat lebih dahulu
ditetapkan (seperti sistem bunga). Ketiga,
Islam melarang semua transaksi alegotoris
semisal gharar atau sistem ijon yang
dikenal dalam masyarakat Indonesia.
5. Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam
konteks ini selain mengandung makna kebenaran, mengandung pula dua unsur yaitu
kebajikan dan kejujuran. Kebenaran adalah nilai kebenaran yang dianjurkan dan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam konteks bisnis kebenaran
dimaksudkan sebagai niat, sikap dan perilaku benar, yang meliputi, proses akad
(transaksi), proses mencari atau memperoleh komoditas, proses pengembangan
maupun dalam proses upaya meraih dan menetapkan keuntungan.
Adapun kebajikan
adalah sikap ihsan, beneviolence yang
merupakan tindakan yang dapat memberi keuntungan terhadap orang lain (Beekun,
1997: 28). Dalam aplikasinya, menurut al-Gazali terdapat tiga prinsip
pengejawantahan kebajikan: pertama,
memberi kelonggaran waktu kepada pihak terhutang dan jika perlu mengurangi
beban utangnya. Kedua, menerima
pengembalian barang yang telah dibeli. Ketiga,
membayar utang sebelum waktu penagihan tiba.( Dalam Beekun, 1997: 28)
Termasuk ke dalam
kebajikan dalam bisnis adalah sikap kesukarelaan dan keramahtamahan.
Kesukarelaan dalam pengertian, sikap suka-rela
antara kedua belah pihak yang melakukan
transaksi, kerja sama atau perjanjian bisnis. Hal ini ditekankan untuk
menciptakan dan menjaga keharmonisan hubungan serta cinta mencintai antar mitra
bisnis. Sedangkan keramahtamahan merupakan sikap ramah, toleran baik dalam
menjual, membeli maupun menagih. “Allah merahmati seseorang yang ramah dan
toleran dalam menjual, membeli dan menagih”(dalam Shihab,1997: 8-9). Adapun
kejujuran adalah sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa
adanya penipuan sedikitpun. Sikap ini dalam khazanah Islam dapat dimaknai
dengan amanah.
Dalam al-Qur’an
prinsip kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran dapat diambil dari
penegasan keharusan menunaikan atau memenuhi perjanjian atau transaksi bisnis.
Penggambaran sikap al-Qur’an ini terlihat dari term aufu dalam bentuk fi’il
amar yang tersebut sebanyak 10 kali. Aufu
dari kata dasar wafa wafaan, berarti, menepati,
memenuhi, melaksanakan (dengan penuh), menyempurnakan (al-Munawwir, 1984:
1679).
Al-Qur’an
menggunakan terma aufu, dalam
dua konteks; pertama dalam konteks
perjanjian dan kedua dalam konteks
dan ukuran dan timbangan. Dalam konteks perjanjian al-Qur’an menegaskan
perjanjian manusia kepada Allah maupun perjanjian antar sesama manusia.
Pemenuhan perjanjian kepada Allah misalnya digambarakan dalam surat
al-Baqarah(2): 40, al-An’am(6): 152, an-Nahl(16): 91. Adapun pemenuhan
perjanjian antar sesama digambarkan al-Qur’an dalam surat al-Maidah(5):1,
al-An’am(6):152, al-A’raf(7): 85, Hud(11): 85, al-Isra(17): 35, as-Syu’ara(36):
181-183.
Dari sikap kebenaran,
kebajikan (kesukarelaan) dan kejujuran demikian maka suatu bisnis secara
otomatis akan melahirkan persaudaraan, dan kemitraan yang saling menguntungkan,
tanpa adanya kerugian dan penyesalan. Pengejawantahan prinsip kebenaran dengan
dua makna kebajikan dan kejujuran secara jelas telah diteladankan oleh Nabi
Muhammad yang juga merupakan pelaku bisnis yang sukses. Dalam menjalankan
bisnisnya, Nabi tidak pernah sekalipun melakukan kebohongan, penipuan atau
menyembunyikan kecacatan suatu barang. Sebaliknya Nabi mengharuskan agar bisnis
dilakukan dengan kebenaran dan kejujuran. “Muslim adalah saudara muslim, tidak
dibenarkan seorang muslim menjual kepada saudaranya yang muslim suatu jualan
yang mempunyai aib kecuali dia menjelaskan aibnya.” “Barang siapa yang menipu
(dalam berbisnis) maka ia bukanlah termasuk kelompok kami.” (Dalam Shihab, 1997: 8)
Dengan kelima prinsip di atas, maka etika bisnis
Islam dapat menjaga dan berlaku
preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian. Prinsip kesatuan, kesetimbangan,
kehendak bebas, tanggung jawab, dan kebenaran memperlihatkan adanya suatu
bangunan bisnis yang ideal.
0 komentar:
Posting Komentar