Rabu, 15 Februari 2012

KARAKTERISTIK DAN JENIS-JENIS PRAKTEK MAL BISNIS




Pendahuluan
Bahasan pada bagian ini dimaksudkan sebagai upaya identifikasi praktek-praktek bisnis dari sudut pandang etika bisnis. Paling tidak terdapat tiga ukuran atau standar untuk menentukan dan menetapkan suatu perilaku atau praktek bisnis termasuk kategori praktek mal bisnis yaitu ukuran atau standar al-bathil, alfasad dan adzalim. Ketiga ukuran itu tidak harus ketiganya melekat pada suatu praktek atau proses bisnis, karena satu standar saja, melekat pada praktek bisnis sudah dapat dikategorikan sebagai praktek mal bisnis.


Mal Bisnis,
Bagaimanakah karakteristik dan jenis-jenis praktek mal bisnis? Praktek mal-bisnis dalam pengertiannya   mencakup semua perbuatan bisnis yang tidak baik, jelek, sia-sia, membawa akibat kerugian, maupun melanggar hukum (business crimes, business tort, ecomomic crimes atau disebut juga white collar crimes) (Suwantoro 1990: 20-21).

Adapun di antara jenis-jenis praktek mal-bisnis yang tertera dalam al-Qur’an adalah pengurangan timbangan atau takaran, penimbunan, bisnis yang didamnya terdapat gharar, riba dan lain-lain. Untuk mengungkap karakteristik praktek mal bisnis, karena realitas jenis-jenis bisnis kini semakin berkembang dan bervariasi maka,  dapat dilakukan dengan cara mengungkap karakter-karakter yang selalu terdapat dalam praktek mal bisnis. Dalam tulisan ini, prinsip al-bathil, adz-dzalim dan al-fasad diasumsikan sebagai karakter yang menyatu dalam praktek mal-bisnis baik secara sendiri-sendiri atau sekaligus.

Al-Qur’an sebagai sumber nilai, telah memberikan nilai-nilai prinsipil untuk mengenali perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an sendiri. Dalam al-Qur’an  terdapat terma-terma,  al-bathil, al-fasad dan azh-zhalim yang dapat difungsikan sebagai landasan-landasan atau muara perilaku yang bertentangan dengan nilai perilaku yang dibolehkan atau dianjurkan al-Qur’an khususnya dalam dunia bisnis. Hal ini beralasan bahwa beberapa ayat yang mempunyai kandungan tentang bisnis, seringkali mengunakan terma-terma di atas ketika menjelaskan tentang perilaku bisnis yang buruk.

Al-Bathil
Al-bathil dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 36 kali dalam berbagai derivasinya. Bathala disebut satu kali dalam surat al-A’raf (7): 11, tubthilu dua kali dalam surat al-Baqarah (2): 264 dan Muhammad (47): 33,  yubthilu, satu kali dalam al-Anfal (8): 8 dan  sayubthiluhu, satu kali dalam Yunus (10): 81. Dibanding bentuk-bentuk lainnya bentuk bathilun disebut paling banyak  yaitu 24 kali dalam al-Qur’an.  Bathilan, disebut dua kali dan al-mubthilun disebut lima kali (Baqi, 1981:123-124).   Menurut  pengertiannya, al-bathil yang berasal dari kata dasar bathala, berarti fasada atau rusak, sia-sia, tidak berguna, bohong. Al-Bathil sendiri berarti; yang batil, yang salah, yang palsu, yang tidak berharga, yang sia-sia dan syaitan (al-Munawwir, 1984: 99-100). 

Menurut ar-Raghib al-Asfahani, al-bathil berarti lawan dari kebenaran yaitu segala sesuatu yang tidak mengandung apa-apa di dalamnya ketika diteliti atau di periksa atau sesuatu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat (1961: 50-51). Menurut a-Maraghi, al-bathil berasal dari al-buthlu dan al-buthlan, berarti kesia-siaan dan kerugian, yang menurut syara’ mengambil harta tanpa pengganti hakiki dan tanpa keridlaan dari pemilik harta yang diambil tersebut (1998:V: 24). Al-fasad sendiri yang berasal dari kata dasar f-s-d berarti kerusakan, kebusukan, yang tidak sah, yang batal(al-Munawwir, 1984: 1133), lawan dari perbaikan, atau sesuatu yang keluar dari keadilan baik sedikit maupun banyak, atau juga kerusakan yang terjadi pada diri manusia, benda dan lain-lain (al-Asfahani, 1961: 379).
Penggunaan al-bathil dalam konteks bisnis tersebut dalam al-Qur’an sebanyak empat kali. Pertama dalam surat al-Baqarah (2): 188, ditegaskan bahwa  sifat kebatilan seringkali digunakan untuk memperoleh harta benda secara sengaja. Bahkan untuk memperkuat kebatilannya sampai mengelabui lembaga hukum. Al-Qur’an menegaskan, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kami dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” Secara historis sosiologis ayat ini turun berkenaan dengan kasus Imriil Qais bin ‘Abis dan ‘Abdan bin Asyma’ al-Hadlrami yang bertengkar dalam persoalan tanah. Imri’il Qais berusaha mendapatkan tanah itu menjadi miliknya dengan bersumpah di depan hakim (Shaleh, 1975: 55.) Dengan demikian ayat in merupakan peringatan keras kepada orang-orang yang merampas hak orang lain dengan jalan batil.
Secara tegas ayat ini menjelaskan praktek bisnis dan ekonomi yang tidak dibenarkan oleh al-Qur’an. Kemudian pada ayat kedua, yaitu dalam surat an-Nisa (4): 29, ditegaskan larangan bisnis yang dilakukan dengan proses kebatilan. Khitab ayat ini secara langsung ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Al-Qur’an mengatakan yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang dan kepadamu.”
Pada ayat ini, penyebutan al-bathil diletakkan sebagai lawan dari perniagaan yang dilakukan dengan saling kerelaan dan tanpa ada pihak yang dirugikan. Lanjutan ayat ini menjelaskan pula bahwa, yang berbuat kebatilan adalah telah melanggar hak dan berbuat aniaya dan termasuk dosa besar (QS. an-Nisa (4): 30). Jika kita dapat menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tersebut, maka akan selamat dan mendapat kemuliaan (QS. an-Nisa (4): 31).

Pada ayat ketiga, yaitu dalam surat  an-Nisa (4): 160-161; al-bathil disebutkan dalam konteks kezhaliman kaum Yahudi yang suka melakukan riba dan memakan harta orang lain dengan jalan batil. Pada ayat keempat disebutkan bahwa kebatilan dalam bisnis telah banyak dilakukan baik dengan menghalang-halangi dari jalan Allah, menimbun harta atau tidak mengeluarkan infak. Lihat dalam surat QS. at-Taubah (9): 34. Tujuan utama dan pertama dari perolehan harta adalah memenuhi kebutuhan pangan, karena itulah pada ayat ini digunakan kata “makan” dalam arti memperoleh harta dan mengunakan atau membelanjakannya. Harta seharusnya memiliki fungsi sosial, sehingga ketika dimiliki seseorang dimiliki pula oleh selainnya, baik melalui zakat maupun sedekah. Pengembangan harta tidak akan terwujud kecuali melalui interaksi antar sesama dalam berbagai bentuknya. Inilah maknananya kenapa  pada ayat yang menyangkut harta digunakan kata  bainakum (Shihab, 2000: 386-387). Menurut Thabathaba’i seperti dikutip Quraish Shihab, bainakum mengandung makna adanya semacam himpunan di antara sesama atas harta, dan harta itu berada di tengah mereka (2000: 392-393).
Lebih lanjut al-Maraghi menjelaskan ayat di atas sebagai dasar-dasar kaidah keadilan tentang harta benda dalam Islam, pertama, harta individu adalah harta umat dengan menghargai pemilikan dan memelihara hak-haknya. Orang yang mempunyai banyak harta diwajibkan hak-hak tertentu demi maslahat-maslahat umum misalnya, memberikan pertolongan, berbuat kebajikan,  atau memberikan manfaat dari hartanya kepada orang yang tidak punya. Islam mewajibkan untuk menghilangkan kesusahan orang yang “terpaksa”, sebagaimana mewajibkan di dalam harta mereka, hak-hak bagi para fakir miskin. Kedua, Islam tidak membolehkan orang-orang yang membutuhkan, mengambil harta dari pemiliknya tanpa seizin mereka. Selain itu, ayat ini  mengisaratkan pula tentang  tiga faidah;  pertama, dasar halalnya perniagaan adalah saling meridlai (kerelaan) antara pembeli dan penjual. Kedua, segala yang ada di dunia berupa perniagaan dan apa yang tersimpan di dalam maknanya seperti kebatilan yang tidak kekal dan tetap, hendaknya tidak melalaikan orang yang  berakal untuk mempersiapkan diri demi kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal. Ketiga, mengisyaratkan bahwa sebagian besar jenis perniagaan mengandung makna memakan harta dengan jalan batil (2000: 36-37).

Dengan demikian dapat dicatat bahwa surat an-Nisa (4): 29 merupakan kaidah umum tentang transaksi di dalam harta sebagai pembersihan bagi jiwa di dalam mengumpulkan harta yang dicintai. Kebatilan dalam harta benda berarti mengambil harta tanpa penganti, tanpa keridlaan pemiliknya, atau menafkahkan harta bukan pada jalan benar yang bermanfaat (Al-Maraghi,1998:V: 24-25.)

Di sinilah posisi strategisnya etika bisnis, untuk  menjaga pengelolaan dan pengembangan harta benda yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dari jalan kebatilan. Harta benda tidak ubahnya seperti ruh, karena itu hendaknya dijaga dan tidak dirusak dengan jalan batil. Merampas harta benda dan hal-hal yang berhubungan dengannya melalui jalan batil sama saja dengan membunuh diri sendiri, bahkan sama dengan membunuh masyarakat secara keseluruhan (Shihab, 2000: 393).

Al-Fasad
Prinsip kedua dari praktek mal bisnis adalah al-fasad. Terma ini disebut 48 kali dalam al-Qur’an. Derivasi yang  dipakai adalah; lafasadat, lafasadata, afsaduha, latufsidunna, tufsidu, linufsida, yufsida, liyufsidu, yufsidun, al-fasad, fasadan, al-mufsidun, mufsidi n. Dari bentuk-bentuk tersebut  yang paling banyak digunakan adalah  mufsidi n, sebanyak  18 kali, al-fasad, 8 kali, yufsidun, 5 kali, tufsidu, 4 kali,  fasadan 3 kali, lafasadat, yufsidu, al-mufsidun, masing-masing 2 kali dan selainnya masing-masing satu kali (Baqi, 1981: 518-519).  Dalam penggunaannya terma al-fasad kebanyakan mempunyai pengertian kebinasaan, kerusakan, membuat kerusakan (yang rugi), kekacauan di muka bumi, menimbulkan kerusakan, atau mengadakan kerusakan di muka bumi. Misalnya dalam QS. Al-Baqarah (2): 27, 205, al-Maidah (5): 32, al-Anfal (8): 73, Hud (11): 116, ar-Ra’d (13): 25, an-Nahl (16): 88, as-Syu’ara (26): 152, an-Naml (27): 48, al-Qashash (28): 77, ar-Rum (30): 41, al-Mukmin (30): 41,  al-Fajr (89): 12.
Dalam surat Hud (11): 85 ditegaskan bahwa mengurangi takaran dan timbangan merupakan kedzaliman. Demikian pula dalam surat QS. al-A’raf (7): 85, atau QS al-Baqarah(2): 205, ditegaskan tentang  perintah menyempurnakan takaran dan timbangan disandingkan dengan larangan mengadakan kerusakan (kedzaliman ) di muka bumi.
Di tempat lain pada surat al-Maidah (5): 32 al-Qur’an menyatakan bagaimana besar dan luasnya akibat yang ditimbulkan oleh suatu kezaliman, …barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh)  orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa  yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Dari ayat-ayat di atas dapat diambil pemahaman bahwa perbuatan yang mengakibatkan kerusakan atau kebinasaan, walaupun kelihatannya sedikit dianggap oleh al-Qur’an sebagai kerusakan yang banyak. Mengurangi hak atas suatu barang (komoditas) yang didapat atau diproses dengan menggunakan media takaran atau timbangan dinilai al-Qur’an seperti telah membuatan kerusakan di muka bumi. Memelihara kehidupan seseorang dinilai al-Qur’an sebagai memelihara manusia secara keseluruhan. Demikian pula maka memelihara seseorang manusia dari kekurangan pangan dapat bernilai telah memelihara kekurangan pangan seluruh manusia. Dari penilaian ini, al-Qur’an selalu memberlakukan penilaian berlipat ganda, bahkan berlipat-lipat terhadap perbuatan-perbuatan yang membawa konsekuensi sosial kemasyarakatan.  Hal ini dapat dimaknai pula bahwa al-Qur’an sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesetimbangan (sosial-ekonomi), keselamatan dan kebaikan. Sebaliknya sangat tidak menyetujui terhadap adanya kerusakan dan ketidaktimbangan..

Azh-Zhalim
Selain al-bathil dan al-fasad, terma  azh-zhulm, mempunyai hubungan makna yang erat, terutama dalam konteks bisnis dan ekonomi yang bertentangan dengan etika bisnis. Azh-zulm terambil dari kata dasar  zh-l-m bermakna, meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ketidakadilan, penganiayaan, penindasan, tindakan sewenang-wenang, kegelapan (al-Munawwir, 1984: 946-947).
Zhalim adalah tidak adanya cahaya, merupakan gambaran dari kebodohan, kesyirikan, kefasikan lawan dari cahaya, misalnya terdapat dalam QS Ibrahim (14): 1. Menurut ahli bahasa dan kebanyakan ulama, zhalim adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, baik mengurangi atau melebihi  dari sisi waktu ataupun tempat (materi ataupun non materi). Dalam konteks hukum menurut ar-Raghib, kezhaliman dibagi tiga; pertama, kezhaliman manusia terhadap Allah seperti kufur, syirik, nifak misalnya dalam QS. Hud (11): 18, az-Zumar (39): 32. Kedua, kezhaliman antar sesama manusia. Hal ini diantaranya seperti dijelaskan dalam surat al-Isra (17): 33 dan as-Syura (42): 42. Dan ketiga, kezhaliman terhadap diri sendiri (al-Asfahany, 1961: 315-316).
Dalam konteks hubungan kemanusiaan, al-Qur’an pada beberapa tempat menyatakan kandungan makna kezhaliman sebagai landasan praktek yang berlawanan dengan nilai-nilai etika, termasuk dalam mal bisnis.  Dalam al-Baqarah (2): 279, al-Qur’an mengatakan, bahwa kita seharusnya tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya oleh pihak lain. “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengerjakan riba) maka bagimu pokok (modal)  hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.
Dalam surat QS Ibrahim (14): 34, dinyatakan bahwa manusia seringkali berlaku zhalim terhadap sesama  dan mengingkari nikmat yang telah dianugrahkan Allah. Demikian pula dalam QS. asy-Syura (42):42. Kezhaliman telah banyak dilakukan manusia, misalnya menghalangi dari jalan Allah, memakan riba, memakan harta dengan jalan bathil Padalah Allah sama sekali tidak pernah berbuat aniaya terhadap manusia. Al-Qur’an menyatakan, yang artinya;  Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba… dan karena mereka memakan harta dengan orang dengan  jalan bathil. (QS. an-Nisa (4):160-161).
Dari paparan ayat-ayat zalim di atas dapat dipahami bahwa kezhaliman pada hakikatnya membawa akibat kerugian baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Kezaliman pada sesama dinilai oleh al-Qur’an sebagai kezaliman pada Allah.
Dengan demikian dari pemahaman al-bathil, al-fasad dan az-zalim di atas dihubungkan dengan pengertian hakikat bisnis, dapat diambil benang merah bahwa salah satu landasan praktek mal bisnis adalah setiap praktek bisnis yang mengandung unsur kebatilan, kerusakan dan kezaliman baik sedikit maupun banyak, tersembunyi maupun terang-terangan. Dapat menimbulkan kerugian secara material maupun immateri baik bagi si pelaku, pihak lain maupun masyarakat. Dapat menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan. Menimbulkan akibat-akibat moral maupun akibat hukum yang mengikutinya, baik menurut hukum agama maupun hukum positip. Namun demikian penilaian terhadap suatu praktek mal bisnis tidak disyaratkan adanya tiga landasan kebatilan, kerusakan dan kezhaliman sekaligus, melainkan adanya salah satu dari ketiga landasan di atas secara otomatis telah  memasukan suatu aktivitas maupun entitas bisnis ke dalam kategori praktek mal bisnis.
Perilaku-perilaku seperti riba, mengurangi timbangan atau takaran, penipuan (tadlis), gharar, skandal, korupsi dan kolusi,  monopoli serta penimbunan, merupakan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan etika bisnis, yang kesemuanya mengandung prinsip-prinsip al-batil, al-fasad dan az-zalim.

Dari paparan ketiga landasan paktek mal bisnis di atas, maka prinsip-prinsip etika bisnis al-Qur’an adalah;
1.  Kesatuan (unity)
Yang dimaksud kesatuan adalah kesatuan  sebagaimana terefleksi dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, menjadi suatu “homogeneous whole” atau keseluruhan homogen, serta mementingkan konsep konsensistensi dan keteraturan yang menyeluruh. (Naqvi, 1993: 50-51). Tauhid merupakan konsep serba ekslusif dan serba inklusif. Pada tingkat absolut ia membedakan Khalik dengan makhluk, memerlukan penyerahan tanpa syarat kepada kehendak-Nya, tetapi pada eksistensi manusia memberikan suatu prinsip perpaduan yang kuat sebab seluruh umat mansuia dipersatukan dalam ketaatan kepada Allah semata. (Naqvi, 1993: 78).
Atas dasar pandangan konsep tersebut, maka etika dan ekonomi atau etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horizontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam yang homogen  yang tidak mengenal kekusutan dan keterputusan.(Naqvi, 1993: 50-51).
Berdasarkan prinsip kesatuan, Beekun juga Fuad Yusuf, pengusaha muslim dalam melakukan aktivitas maupun entitas bisnisnya tidak akan melakukan paling tidak tiga hal (1997: 20-23, 1997:14-15): pertama,  diskriminasi diatara pekerja, penjual, pembeli, mitra kerja atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama (QS al-Hujurat (49): 13.) Kedua, terpaksa atau dipaksa melakukan praktek-praktek mal bisnis karena hanya Allah-lah yang semestinya ditakuti dan dicintai. (QS al-An’am (6): 163.) Ketiga, menimbun kekayaan atau serakah, karena hakikatnya kekayaan merupakan amanah Allah. (QS  al-Kahfi (18): 46.)

2.  Kesetimbangan (keadilan)
Kesetimbangan (equiblirium) atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan harmoni pada alam semesta. Hukum dan tatanan yang kita lihat pada alam semesta mencerminkan kesetimbangan yang harmonis. (Beekun, 1997: 23.) Tatanan ini pula yang dikenal dengan sunnatullah (as-Shadr, 1993: 91).
Sifat kesetimbangan atau keadilan bukan hanya sekedar karakteristik alami, melainkan merupakan karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.  Kebutuhan akan sikap kesetimbangan atau keadilan ini ditekankan oleh Allah dengan menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan. (Beekun, 1997: 23) Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki kebersamaan, kedinamisan dalam gerak, arah dan tujuannya serta memiliki aturan-aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah atau pembenar. (Soetapa, 1991: 9-16,  Syari’ati, 1992: 45-52). Dengan demikian kesetimbangan, kebersamaan, kemoderatan merupakan  prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis misalnya dijelaskan dalam al-Baqarah (2): 195, al-Furqan (25):67-68, 72-73,  al-Isra (17): 35.
Dalam surat al-Baqarah dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda (pendayagunaan harta benda) harus dilakukan dalam kebaikan dan tidak pada sesuatu yang dapat membinasakan diri. Kemudian harus menyempurnakan takaran dan timbangan dengan neraca yang benar.(al-Isra (17): 35.) Dijelaskan pula bahwa ciri-ciri orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka yang membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak pula kikir, tidak melakukan kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan persaksian palsu, tidak tuli dan tidak buta terhadap ayat-ayat Allah.(al-Furqan (25):67-68, 72-73).
Pada struktur ekonomi dan bisnis, agar kualitas kesetimbangan dapat  mengendalikan semua tindakan manusia, maka harus memenuhi; pertama, hubungan-hubungan dasar antara konsumsi, distribusi dan produksi harus berhenti pada suatu kesetimbangan tertentu demi menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. Kedua, ‘keadaan’ perekonomian yang tidak konsisten dalam distribusi pendapatan dan kekayaan  harus ditolak karena Islam menolak daur tertutup pendapatan dan kekayaan yang menjadi semakin menyempit,
…Supaya kekayaan itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja diantara kamu...” (QS. al-Hasyr(59): 7.)
Demikian pula, memaksimumkan kesejahteraan ‘total’ dan tidak berhenti sampai distribusi optimal, bertentangan dengan prinsip kesetimbangan. Eksistensi manusia adalah makhluk teomorfis yang harus memenuhi kesetimbangan nilai yang sama antara nilai sosial dan individual dalam masyarakat. Karena itu setiap kebahagiaan individu harus mempunyai nilai yang sama dipandang dari sudut sosial. (Naqvi, 1993: 99-101).
Ketiga, sebagai akibat dari pengarus sikap egalitarian yang kuat demikian, maka dalam ekonomi dan bisnis Islam tidak mengakui adanya, baik hak milik yang tak terbatas maupun sistem pasar yang bebas tak terkendali. Hal ini disebabkan bahwa ekonomi dan bisnis dalam pandangan Islam bertujuan bagi penciptaan keadilan sosial.(Naqvi, 1993: 101). Kesetimbangan sosial harus dipertahankan juga, bukan hanya mengenai bidang material seperti distribusi kekayaan yang merata, tetapi mengenai distribusi harga diri yang merata antara si kaya dan si miskin. Kaum hartawan tidak diperkenankan memepertukarkan uangnya dengan harga diri kaum miskin. (Naqvi, 1993: 99). Al-Baqarah(2): 264, memberikan kesaksian atas desakan pada adanya kualitas kesetimbangan untuk mencapai suatu kerangka sosio ekonomi yang memadukan kehidupan ekonomi dengan kebahagiaan sosial dan spiritual. (Naqvi, 1993: 99).
3.   Kehendak bebas
Kehendak bebas merupakan kontribusi Islam yang paling orisinal dalam filsfat sosial tentang konsep manusia “bebas”. Hanya Tuhan yang bebas, namun dalam batas-batas skema penciptaan-Nya manusia juga secara relatif mempunyai kebebasan. (Naqvi, 1993: 82-83). Manusia sebagai khalifah di muka bumi (sampai batas-batas tertentu) mempunyai kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan pencapaian kesucian diri. Manusia dianugerahi kehendak bebas (free will) untuk membimbing kehidupannya sebagai khalifah.
Berdasarkan prinsip ini, para pelaku bisnis mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, termasuk menepati atau mengingkarinya. Seorang muslim yang percaya pada kehendak Allah, akan memuliakan semua  janji yang dibuatnya.(Beekun, 1997: 24, 25, Lihat juga QS. al-Kahfi(18): 29). Dalam masalah perjanjian, baik perjanjian kepada Allah maupun perjanjian dalam pergaulan sesama, manusia harus dapat memenuhi semua janji-janji tersebut, seperti tersebut dalam al-Maidah(5): 1; Hai orang-orang yang beriman taatilah janji-janjimu.
Menurut Yusuf Ali seperti dikutif Rafik terma uqud merupakan konsep yang multidimensional. Konsep ini meliputi; (a) kewajiban ilahi, yang mengarahkan dari spiritual dan hubungan sesama kepada Allah. (b) kewajiban sosial. (c) kewajiban politik seperti perjanjian. (d) kewajiban bisnis seperti kontrak-kontrak  kerja sama atau kontrak kepegawaian. Dengan landasan ini maka dalam sistem ekonomi, Islam menolak prinsip laissez faire dan konsep invisible hand.(Beekun, 1997: 25).
             
4. Pertanggungjawaban
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggungjawabkan tindakannya. (Beekun, 1997: 26). Secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan prinisp kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya. (Naqvi, 1993: 86). Al-Qur’an menegaskan,
 “Barangsiapa memberikan hasil yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian pahala. Dan barang siapa menimbulkan akibat yang buruk, niscaya ia akan memikul konsekuensinya. (QS. an-Nisa(4): 85).
Dalam bidang ekonomi dan bisnis prinsip ini dijabarkan menjadi suatu pola perilaku tertentu. Ia mempunyai  sifat berlapis ganda dan terfokus baik pada tingkat mikro (individual) maupun tingkat makro (organisasi dan sosial), yang kedua-duanya harus dilakukan secara bersama-sama. (Beekun, 1997: 27) Perilaku  konsumsi seseorang misalnya tidak sepenuhnya bergantung kepada  penghasilannya sendiri; ia juga harus menyadari tingkat penghasilan dan konsumsi berbagai anggota masyarakat yang lain. (Beekun, 1997: 103). Karena itu menurut Sayyid Qutub prinsip pertanggungjawaban Islam adalah pertanggung-jawaban yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya. Antara jiwa dan raga, antara person dan keluarga, individu dan sosial antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. (Beekun, 1997: 103)
Prinsip pertanggungjawaban ini secara mendasar akan mengubah perhitungan ekonomi dan bisnis karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan. Hal ini diimplementasikan paling tidak pada tiga hal; pertama, dalam menghitung margin, keuntungan nilai upah harus dikaitkan dengan upah minimum yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. Kedua, economic return bagi pemberi pinjaman modal  harus dihitung berdasarkan pengertian yang tegas bahwa besarnya keuntungan tidak dapat diramalkan dengan probalitias kesalahan nol dan tak dapat lebih dahulu ditetapkan (seperti sistem bunga). Ketiga, Islam melarang semua transaksi alegotoris semisal gharar atau sistem ijon yang dikenal dalam masyarakat Indonesia.

5.  Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Kebenaran adalah nilai kebenaran yang dianjurkan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap dan perilaku benar, yang meliputi, proses akad (transaksi), proses mencari atau memperoleh komoditas, proses pengembangan maupun dalam proses upaya meraih dan menetapkan keuntungan.
Adapun kebajikan adalah sikap ihsan, beneviolence yang merupakan tindakan yang dapat memberi keuntungan terhadap orang lain (Beekun, 1997: 28). Dalam aplikasinya, menurut al-Gazali terdapat tiga prinsip pengejawantahan kebajikan: pertama, memberi kelonggaran waktu kepada pihak terhutang dan jika perlu mengurangi beban utangnya. Kedua, menerima pengembalian barang yang telah dibeli. Ketiga, membayar utang sebelum waktu penagihan tiba.( Dalam Beekun, 1997: 28)
Termasuk ke dalam kebajikan dalam bisnis adalah sikap kesukarelaan dan keramahtamahan. Kesukarelaan dalam pengertian, sikap suka-rela  antara kedua belah pihak yang melakukan  transaksi, kerja sama atau perjanjian bisnis. Hal ini ditekankan untuk menciptakan dan menjaga keharmonisan hubungan serta cinta mencintai antar mitra bisnis. Sedangkan keramahtamahan merupakan sikap ramah, toleran baik dalam menjual, membeli maupun menagih. “Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam menjual, membeli dan menagih”(dalam Shihab,1997: 8-9). Adapun kejujuran adalah sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun. Sikap ini dalam khazanah Islam dapat dimaknai dengan amanah.
Dalam al-Qur’an prinsip kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran dapat diambil dari penegasan keharusan menunaikan atau memenuhi perjanjian atau transaksi bisnis. Penggambaran sikap al-Qur’an ini terlihat dari term aufu dalam bentuk fi’il amar yang  tersebut sebanyak  10 kali. Aufu dari kata dasar wafa wafaan, berarti, menepati, memenuhi, melaksanakan (dengan penuh), menyempurnakan (al-Munawwir, 1984: 1679).
Al-Qur’an menggunakan terma aufu, dalam dua konteks; pertama dalam konteks perjanjian dan kedua dalam konteks dan ukuran dan timbangan. Dalam konteks perjanjian al-Qur’an menegaskan perjanjian manusia kepada Allah maupun perjanjian antar sesama manusia. Pemenuhan perjanjian kepada Allah misalnya digambarakan dalam surat al-Baqarah(2): 40, al-An’am(6): 152, an-Nahl(16): 91. Adapun pemenuhan perjanjian antar sesama digambarkan al-Qur’an dalam surat al-Maidah(5):1, al-An’am(6):152, al-A’raf(7): 85, Hud(11): 85, al-Isra(17): 35, as-Syu’ara(36): 181-183.
Dari sikap kebenaran, kebajikan (kesukarelaan) dan kejujuran demikian maka suatu bisnis secara otomatis akan melahirkan persaudaraan, dan kemitraan yang saling menguntungkan, tanpa adanya kerugian dan penyesalan. Pengejawantahan prinsip kebenaran dengan dua makna kebajikan dan kejujuran secara jelas telah diteladankan oleh Nabi Muhammad yang juga merupakan pelaku bisnis yang sukses. Dalam menjalankan bisnisnya, Nabi tidak pernah sekalipun melakukan kebohongan, penipuan atau menyembunyikan kecacatan suatu barang. Sebaliknya Nabi mengharuskan agar bisnis dilakukan dengan kebenaran dan kejujuran.  “Muslim adalah saudara muslim, tidak dibenarkan seorang muslim menjual kepada saudaranya yang muslim suatu jualan yang mempunyai aib kecuali dia menjelaskan aibnya.” “Barang siapa yang menipu (dalam berbisnis) maka ia bukanlah termasuk kelompok kami. (Dalam Shihab, 1997: 8)

Dengan  kelima prinsip di atas, maka etika bisnis Islam dapat menjaga  dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian. Prinsip kesatuan, kesetimbangan, kehendak bebas, tanggung jawab, dan kebenaran memperlihatkan adanya suatu bangunan bisnis yang ideal.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Themes | New Blogger Themes