Rabu, 15 Februari 2012

TANGGUNG JAWAB MORAL DALAM LINGKUNGAN BISNIS


Pertama,


Contoh kasus: pada abad 19 dikembangkan susu formula pengganti ASI. Pada 1950-1970 hanya 22 persen ibu-ibu yang memberi ASI pada bayinya dan 78 persen menggunakan susu formula. Tetapi dengan kesadaran masyarakat, pada 1978-an, 50 persen yang menggunakan susu formula beralih kembali pada ASI, karena ASI memang jauh lebih baik. Kondisi ini jelas merupakan pukulan telak bagi perusahan produsen susu formula. Maka mereka mencari pasar baru di negara-negara Dunia Ketiga. Dipelopori oleh Nestle koorporasi multinasional terbesar dalam produksi makanan yang berasal dari Swiss, secara besar-besaran mengadakan promosi, seperti dengan kompanye”ibu modern tahu yang terbaik untuk bayinya, yaitu susu formula Nestle”. Sampel di bagi-bagi kepada dokter, bidan, petugas kesehatan untuk disalurkan kepada ibu-ibu dengan imbalan hadiah bagi yang mencapai target penjualan. Bagi kebanyakan hingga kini, apa-apa yang berasal dari Amerika Serikat atau Negara Barat pasti lebih baik untuk kesehatan.

Kedua,
Lingkungan bisnis adalah lingkungan yang meliputi baik internal maupun eksternal dari suatu koorporasi. Internal koorporasi meliputi semua pihak yang berada dalam lingkup organisasi koorporasi. Sedangkan ekternal koorporasi meliputi pihak-pihak yang secara langsung atau tidak berhubungan dengan koorporasi tersebut.
Koorporasi pada mulanya bukan berarti perusahaan bisnis semata-mata, tetapi berarti lebih luas lagi meliputi badan hukum. Bahkan dari bahasa asalnya latin corpus/ corpora berarti yang dijadikan suatu badan, yang pada mulanya tidak ditujukan untuk mencari untung. Pada masa kekaisaran Romawi dan zaman pra Modern Eropa menunjukkan suatu badan hukum yang didirikan untuk kepentingan umum.
Tanggung jawab moral koorporasi, secara inhern meliputi “dirinya” karena koorporasi bukan semata-mata merupakan benda mati. Ia merupakan struktur yang tersusun dan berkelindan antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Tanggung jawab moral koorporasi disebut sebagai tanggung jawab sosial koorporasi atau tanggung jawab sosial perusahaan. Namun terhadap tanggung jawab sosial ini tidak sedikit yang menentangnya dengan alasan; doktrin tanggung jawab sosial perusahaan akan merusak sistem ekonomi pasar bebas. Mengakui tanggung jawab sosial akan mengakibatkan sistem ekonomi menjurus ke arah ekonomi berencana dari negara-negara komunis.

Ketiga,
Salah satu tujuan perusahaan adalah mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam lingkup manajemen perusahaan, terdapat apa yang disebut stakehorlders yang pihak-pihak yang terkait erat dengan suatu perusahaan. Selain itu terdapat pula istilah 8 kepentingan yang meliputi organ-organ penting yang harus diutamakan dalam pencapaian tujuan perusahaan.
Dalam suatu bisnis akan selalu  terdapat dua jenis tanggung jawab; tanggung jawab ekonomis dan tanggung jawab sosial. Tanggung jawab ekonomis terkait  dengan kinerja perusahaan agar sehat dan segera menghasilkan keuntungan disamping kembalinya modal dalam jangka waktu tertentu (return on investment). Sedangkan tanggung jawab sosial terkait dengan tanggung jawab perusahaan di luar tanggung jawab ekonomisnya.
Dalam perusahaan-perusahaan BUMN misalnya, ukuran keberhasilan dan kinerja perusahaan tidak selalu diukur oleh tanggung jawab ekonomisnya. Tidak sedikit diantara BUMN yang secara ekonomis “merugi” bahkan bukan rugi pada satu tahun saja, tetapi tetap dipertahankan karena alasan  kepentingan rakyat, kepentingan ekonomi bangsa, pengangguran dan lain-lain. Perusahaan Umum Kereta Api, Garuda Air lines, PLN, PDAM-PDAM, yang hampir setiap tahun merugi tetap dipertahankan oleh negara karena alasan-alasan non ekonomi, seperti politik, lapangan kerja dan lain-lain.
Demikian pula, penyelesaian kasus-kasus investasi bisnis yang bermasalah dari aspek etika maupun hukum yang terjadi di masyarakat seperti kasus  perusahaan PT Qisar di Sukabumi, Pohon Mas di Surabaya, Koperasi Guyub Raharja di Yogyakarta, Perusahaan Oil (kabarnya koorporasi dengan Pertamina) dan lain-lain, telah menjadikan dunia bisnis kita semakin suram, pada satu sisi dan masih banyaknya masyarakat yang mudah terkecoh karena tergiur keuntungan material yang aduhai tanpa memahami sistem dan mekanisme bisnisnya.  
Dalam upaya menyeimbangkan kedua tanggung jawab tersebut, diperlukan suatu upaya-upaya tertentu, baik dilakukan oleh para pemilik, manager hingga karyawan perusahaan agar melahirkan suatu komitmen moral atau statement collective  dalam istilah Particivation Active Reseach.
Berbagai kasus yang terjadi dalam lingkungan bisnis di Indonesia meliputi perusahaan-perusahaan yang bermasalah, menunjukkan belum tercapainya aplikasi tanggung jawab moral perusahaan.  

Keempat,
Bagaimanakah tanggung jawab moral perusahaan Islam? Dalam agama kita, terdapat banyak ajaran yang menjunjung tinggi jaminan sosial, atau tanggung jawab sosial untuk kesejahteraan umum.
Pertama-tama tanggung jawab itu ada pada negara yang direpresentasikan pemimpin negara yang disebut khalifah yang mempunyai konsekuensi pertanggung-jawabaan kepada masyarakat dan kepada Allah. Model pembagian dan pendayagunaan harta Ghanimah, Fa’i, wakaf, wasiat dan hibah dalam ajaran Islam merepresentasikan konsep yang jelas pada tataran ini. Pada aras inilah, kebijakan keungan publik Islam berada. 
Kedua, para hamba Allah yang diberi amanah dan mempunyai kemampuan (atau kekuasaan) baik pada level individu (agniya) atau dalam level organisasi atau perusahaan. Struktur yang tegas dan jelas dalam ajaran Zakat meliputi zakat individu hingga zakat perusahaan dengan sistem pembagian dan pendayagunaan yang jelas pula menunjukkan adalah konsep pertanggung-jawaban sosial yang lengkap. Ketika suatu koorporasi atau perusahaan terkena kewajiban zakat maka hal ini memperlihatkan konsepsi tanggung jawab sosial perusahaan Islam yang tegas pula.
Ketiga, para hamba Allah yang belum mempunyai kemampuan atau kekuasaan wajib berupaya dan berusaha semaksimal mungkin tetapi tetap dilarang untuk melalukan perbuatan-perbuatan seperti melakukan penjarahan. Atau dalam level minimum mengambil suatu barang yang bukan merupakan hak miliknya.
Keempat, memahami eksistensi harta benda dalam ajaran Islam. Al-Qur’an menyebut harta benda bahkan dan anak itu sebagai ujian dan cobaan. Hal ini misalnya tercermin dalam Surat al-Anfal(8): 28 dan At-Taghabun (64): 15;
“Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
Akan tetapi, al-Qur’an sama sekali tidak memusuhi harta benda, sebagaimana dipahami oleh salah satu paham  yang menganggap bahwa harta benda itu dapat menghalangi manusia terhadap pencapaian kesucian hati dan ketenangan diri. Al-Qur’an secara tegas menyebutkan posisi harta benda dalam kehidupan manusia adalah sebagai tiang, atau pilar pokok kehidupan. Hal ini jelas termaktub secara tersurat dalam al-Qur’an surat an-Nisa(4): 5;
“Dan janganlah kamu serahkan (investasikan) harta kekayaanmu kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya[1], (harta) yang telah dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

Dengan demikian, eksistensi harta benda itu seperti sebilah pisau; dapat menolong dan dapat pula membunuh. Harta merupakan wasilah(perantara), yang dapat mengantarkan seseorang dapat melakukan kewajibannya, harta dapat menyebabkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Harta akan menjadi baik apabila digunakan sebagai jalan menuju kebaikan, sebaliknya akan berubah menjadi keburukan dan bencana apabila digunakan dalam wilayah keburukan. Dengan harta manusia dapat selamat, tetapi dengan harta pula, manusia dapat terkena laknat.
Dengan fitrah daya keinginan atau syahwat yang adap pada manusia, maka manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan terhadap harta benda yang harus diupayakan, dikelola dan dikembangkan sehingga menghasilkan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi pribadi, keluarga dan  sesama.[2]  Sofyan ats-Tsauri secara tegas menyebutkan bahwa harta benda merupakan senjata orang mukmin pada zaman sekarang ini. Demikian pula menurut Abdurrahman bin Auf; Sungguh indah harta itu. Dengan harta, saya dapat menjaga nama baik dan dengan harta pula saya dapat mendekatkan diri pada Tuhanku”


[1] Assufaha’ pada asalnya berari orang-orang yang masih tertutup akalnya,  belum baligh atau bodoh. Namun dapat pula diartikan orang-orang yang belum atau tidak mempunyai keahlian dan keterampilan dalam mengelola dan mengembangkan harta benda. Dengan demikian, ayat ini secara tersirat mendorong kepada kita untuk mengelola dan mengembangkan harta benda yang kita miliki secara profesional atau diinvestasikan kepada orang yang amanah dan profesional pula.
[2] Ingat bahwa harta benda adalah amanat Allah atas kita, dan bukan merupakan hak milik yang bersifat mutlak. Karena itulah dalam ekonomi Islam, tidak dikenal adanya kepemilikan mutlak, melainkan kepemilikan relatif. Kepemilikian dimaknai sebagai anugrah Allah atau amanah atas manusia.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Themes | New Blogger Themes