Dalam
perkembangan globalisasi seperti kita saksikan saat ini ternyata tidak makin
mudah menyajikan pemahaman tentang
adanya sistem ekonomi Indonesia. Kaum akademisi Indonesia terkesan makin
mengagumi globalisasi yang membawa perangai “kemenangan” sistem kapitalisme
Barat. Sikap kaum akademisi semacam ini ternyata membawa pengaruh besar
terhadap sikap kaum elit politik muda Indonesia, yang mudah menjadi ambivalen
terhadap sistem ekonomi Indonesia dan ideologi kerakyatan yang melandasinya.
Pemahaman sistem ekonomi Indonesia bahkan mengalami suatu
pendangkalan tatkala sistem komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur dinyatakan
runtuh. Kemudian dari situ ditarik
kesimpulan kelewat sederhana bahwa sistem kapitalisme telah memenangkan secara
total persaingannya dengan sistem komunisme. Dengan demikian, dari
persepsi simplisistik semacam ini, Indonesia pun
dianggap perlu berkiblat kepada
kapitalisme Barat dengan sistem pasar-bebasnya dan meninggalkan saja sistem
ekonomi Indonesia yang “sosialistik” itu.
Kesimpulan
misleading tentang menangnya sistem Kapitalisme dalam percaturan dunia
ini ternyata secara populer telah “mengglobal”.
Sementara pemikir strukturalis
masih memberikan peluang terhadap
pemikiran obyektif yang lebih mendalam, dengan membedakan antara runtuhnya
negara-negara komunis itu secara politis dengan lemahnya (atau kelirunya)
sistem sosialisme dalam prakteknya.
Pandangan
para pemikir strukturalis seperti di atas kurang lebih diawali oleh fenomena
konvergensi antara dua sistem raksasa (kapitalisme dan komunisme) a.l. seperti
dkemukakan oleh Raymond Aron (1967), bahwa suatu ketika nanti anak-cucu
Krushchev akan menjadi “kapitalis” dan anak-cucu Kennedy akan menjadi
“sosialis”.
Mungkin
yang lebih benar adalah bahwa tidak ada yang kalah antara kedua sistem itu.
Bukankah tidak ada lagi kapitalisme asli yang sepenuhnya liberalistik dan
individualistik dan tidak ada lagi sosialisme asli yang dogmatik dan
komunalistik.
Dengan
demikian hendaknya kita tidak terpaku pada fenomena global tentang kapitalisme
vs komunisme seperti dikemukakan di atas. Kita harus mampu mengemukakan dan
melaksanakan sistem ekonomi Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan
Indonesia, yaitu untuk mencapai kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, tanpa mengabaikan hak dan tanggung jawab global kita.
Globalisasi dengan “pasar bebas”nya memang berperangai
kapitalisme dalam ujud barunya. Makalah ini tidak dimaksudkan untuk secara
khusus mengemukakan tentang hal-hal mengapa globalisasi perlu kita waspadai
namun perlu dicatat bahwa globalisasi terbukti telah menumbuhkan inequality
yang makin parah, melahirkan “the winner-take-all society” (adigang, adigung,
aji mumpung), disempowerment dan impoversishment terhadap si lemah. Tentu
tergantung kita, bagaimana memerankan diri sebagai subyek (bukan obyek) dalam
ikut membentuk ujud globalisasi. Kepentingan nasional harus tetap kita utamakan
tanpa mengabaikan tanggungjawab global. Yang kita tuju adalah pembangunan
Indonesia, bukan sekedar pembangunan di Indonesia.
Dari
butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi
Indonesia. Keadilan merupakan
titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus.
Pasal
33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang
berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya,
yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.
Berdasarkan
TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian
menjadi ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan
berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal
dari Pasal-Pasal UUDS tentang hak milik
yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993
butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam
GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan
diperkirakan “dikembalikan” ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.
Landasan
normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etik dan moral luhur, yang
menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan,
rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu
sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.
0 komentar:
Posting Komentar