Pendahuluan
Minggu-minggu ini, kita sedang disibukan dengan berbagai kenyataan banyaknya konsumen yang dirugikan akibat
mengkonsumsi makanan-makanan yang ternyata mengandung zat-zat yang merusak tubuh bahkan dapat mematikan. Kasus
keracunan anak-anak SD di Madiun, di Semarang akibat menkonsumsi jajanan, es
lilin dan lain-lain.
Makanan-makanan yang mengandung formalin (cairan
yang dikenal berfungsi sebagai pengawet), borak dan lain-lain. Baso, tahu, ikan
asin, mie basah, tidak sedikit yang
menggunakan formalin, bahkan ada pula
baso yang terbuat dari daging sapi
yang dicampur daging tikus.
Sederet kasus-kasus di atas, memperlihatkan
minimnya atau ketiadaan Perlindungan Konsumen. Model pengawasan yang dilakukan
oleh Pemerintah selama ini dirasakan sangat
jauh dari optimal. Demikian pula
sosialisasi kepada masyarakat
mengenai zat-zat yang merusak kesehatan tubuh seperti formalin itu. Tidak
sedikit di antara produsen home-home industri
makanan kecil mengaku menggunakan bahan pengawet formalin karena tidak
tahu. Efek dari berita-berita demikian, mengakibatkan kerugian pada sebagian
besar para pedagang baso, tahu, ikan
asin yang mungkin saja sebenarnya mereka tidak menggunakan formalin. Kondisi di
atas, pada dasarnya memperlihatkan tentang kelemahan sistem perekonomian.
Eksistensi Konsumen
Pada dasarnya kebanyakan di antara
kita adalah konsumen. Konsumen pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi
konsemen rasional dan konsumen irrasional.
Konsumen berasal dari bahasa Belanda; konsement yang berarti
pengguna terakhir dari benda atau jasa yang diserahkan oleh pengusaha.
Pengusaha di sini meliputi produsen dan pedagang perantara. Dalam pengertian sempit konsumen terbatas
kepada mereka yang secara kontraktual mempunyai hubungan hukum dengan
pengusaha. Sedangkan dalam pengertian yang luas konsumen meliputi semua pihak
yang mengkonsumsi suatu produk baik berupa barang atau jasa, terlepas ada
hubungan kontraktual dengan pengusaha atau tidak. Antara konsumen dengan pengusaha
mempunyai hubungan timbal balik. Hak konsumen merupakan kewajiban pengusaha,
sebaliknya kewajiban pengusaha merupakan hak konsumen.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi
memainkan peranan penting. Keberadaan konsumsi akan mendorong terjadinya produksi
dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian. Bayangkanlah jika suatu saat, masyarakat
tidak memiliki kemampuan untuk membeli atau membayar suatu barang yang
diproduksi? Meskipun produsen berargumen barang sesuai dengan need konsumen,
namun tetap tidak akan melahirkan demand tanpa adanya kemampuan daya
beli konsumen. Tanpa adanya daya beli konsumen, produksi akan terhenti,
dan ekonomi akan mati (Mukhammad
Najib,2003)
Dalam
realitas empirik, hidup dan matinya sebuah proses ekonomi ternyata tidak
sesederhana seperti digambarkan di atas. Sudah tabiat produsen untuk berusaha
sekuat tenaga “mengeksploitasi” need konsumen dan mengkonversinya
menjadi demand. Dengan promosi
yang gencar, sistem pembayaran yang “merangsang” serta hadiah-hadiah yang
ditawarkan, konsumen seakan tidak memiliki alasan untuk tidak mempunyai daya
beli. Sistem kredit misalnya, merupakan bagian dari upaya produsen dalam
memprovokosi konsumen agar terus membeli, sampai akhirnya perilaku konsumsi
mereka menjadi lepas kendali.
Perlindungan Konsumen
Secara
historis perlindungan konsumen bukan hal baru. Setidak-tidaknya Plato
(425-347SM) telah melarang keras para penjual bahan makanan yang menentukan harga, menyamaratakan harga
tanpa mempertimbangkan perbedaan mutu bahan yang baik dengan bahan yang buruk.
Tahun
1906 di Amerika terbit sebuah buku yang berjudul the Jungle karangan
Upton Sinclair yang memaparkan tentang kejelekan pengolahan daging di industri makanan. Dampak dari buku ini
selain membuat gempat masyarakat, telah memaksa pemerintah mengeluarkan
peraturan –peraturan untuk melindungi kepentingan konsumen.
Di
Eropa perlindungan konsumen dimulai
tahun 190-an. Hal ini ditandai dengan 1) dibuatnya peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan
konsumen. 2) tumbuhnya organisasi masyarakat secara swadaya yang khusus
bergerak dalam bidang perlindungan konsumen.
Di
Indonesia isu ini baru muncul pada tahun 1970-an. Namun hingga kini penanganan
perlindungan konsumen baru terbatas pada tumbuhnya berbagai organisasi
perlindungan konsumen seperti YLKI. Pada saat ini kita mengenal adanya PPOM,
LPOM, LPOM-MUI dan lain-lain.
Dengan
kasus-kasus ketiadaan perlindungan konsumen di Indonesia, maka merupakan agenda
yang mendesak untuk mengatasinya. Beberapa tahapan di bawah ini merupakan
alternati ftawaran;
1.
Memperkuat peran dan fungsi
badan-badan atau organisasi perlindungan
konsumen untuk menjaga dan mengantisipasi perlindungan konsumen.
2.
Pemerintah harus secara
bertahap tetapi terus menerut mengelurkan peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan konsumen dalam berbagai aspeknya.
3.
Pemerintah atau swasta
mensosialisasikan pernjanjian standar
atau standar baku dalam setiap transaksi
yang mengedepankan perlindungan konsumen. Bukan standar sepihak yang ditetapkan
perusahaan tetapi merugikan konsumen.
4.
Pemerintah atau swasta mensosialisasikan unsur-unsur atau
bahan-bahan tertentu yang tidak boleh digunakan dalam industri besar maupun
kecil seperti borak, formalin dan lain-lain dan menggantinya dengan bahan-bahan
yang aman.
5.
Meningkatkan pengawasan
terhadap praktek-praktek yang merugikan konsumen di kalangan masyarakat dan
menyalurkannya ke badan-badan yang terkait untuk menuntaskannya
6.
Pemerintah harus konsisten
dalam melakukan tindakan hukum terhadap mereka yang melakukan pelanggaran
tentang perlindungan konsumen.
Arahan Islam tentang Perilaku Konsumsi
Islam
memberikan rambu-rambu berupa arahan-arahan positif dalam berkonsumsi.
Setidaknya terdapat dua batasan dalam hal ini: Pertama, pembatasan dalam
hal sifat dan cara. Seorang muslim mesti sensitif terhadap sesuatu yang
dilarang oleh Islam. Mengkonsumsi produk-produk yang jelas keharamannya harus
dihindari, seperti minum khamr dan makan daging babi. Seorang muslim harus
senantiasa mengkonsumsi sesuatu yang pasti membawa manfaat dan maslahat,
sehingga jauh dari kesia-siaan. Karena kesia-siaan adalah kemubadziran, dan hal
itu dilarang dalam Islam (QS. 17 : 27)
Kedua,
pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi. Islam melarang umatnya
berlaku kikir yakni terlalu menahan-nahan harta yang dikaruniakan Allah SWT
kepada mereka. Namun Allah juga tidak menghendaki umatnya membelanjakan harta
mereka secara berlebih-lebihan di luar kewajaran (QS. 25 : 67, 5 : 87).
Dalam
perilaku konsumsi, Islam sangat menekankan kewajaran dari segi jumlah, yakni
sesuai dengan kebutuhan. Dalam bahasa yang indah Al-Quran mengungkapkan “Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya…”(QS. 17 : 29).
Adapun
arahan Islam dalam perilaku konsumsi
paling tidak ada tiga hal. Pertama, jangan boros. Seorang muslim
dituntut untuk selektif dalam membelanjakan hartanya. Tidak semua hal yang
dianggap butuh saat ini harus segera dibeli. Karena sifat dari kebutuhan
sesungguhnya dinamis, ia dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Seorang pemasar
sangat pandai mengeksploitasi rasa butuh seseorang, sehingga suatu barang yang
sebenarnya secara riil tidak dibutuhkan tiba-tiba menjadi barang yang seolah
sangat dibutuhkan. Contoh sederhana air mineral. Dahulu orang tidak terlalu
membutuhkannya. Namun karena perusahaan rajin “memprovokasi” pasar, kini hampir
di setiap rumah kita ada air mineral.
Kedua,
menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan. Seorang muslim hendaknya mampu
menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluarannya, sehingga sedapat mungkin
tidak berutang. Karena utang, menurut Rasulullah SAW akan melahirkan keresahan
di malam hari dan mendatangkan kehinaan di siang hari. Ketika kita tidak
memiliki daya beli, kita dituntut untuk lebih selektif lagi dalam memilih,
tidak malah memaksakan diri sehingga terpaksa harus berutang. Hal ini tentu
bertentangan dengan perilaku produktif. Kita telah merasakan: keresahan,
kehinaan, serta kehilangan kemerdekaan sebagai satu bangsa akibat jerat utang.
Ketiga, tidak
bermewah-mewahan. Islam melarang umatnya hidup dalam kemewahan (QS. 56 : 41-46)
Kemewahan yang dimaksud menurut Yusuf Al Qardhawi adalah tenggelam dalam
kenikmatan hidup berlebih-lebihan dengan berbagai sarana yang serba
menyenangkan.
Dengan
demikian, perilaku konsumsi, sesuai arahan Islam di atas menjadi lebih terasa
urgensinya pada kehidupan saat ini. Krisis ekonomi yang belum juga reda bertemu
dengan harga-harga yang melambung tinggi, menuntut kita untuk selektif dalam
berbelanja. Islam tidak melegitimasi momen apapun yang boleh digunakan untuk
mengkonsumsi secara berlebihan apalagi di luar batas kemampuan
Bagi
mereka yang memiliki uang berlebih mungkin berfikir, mengapa Islam harus
membatasi hak orang? Pada prinsipnya Islam sangat menghargai hak individu dalam
mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah SWT sepanjang pelaksanaannya
tidak mengganggu kepentingan umum. Dalam riwayat, Khalifah Umar bin Khattab
pernah melarang konsumsi daging dua hari berturut-turut dalam sepekan, karena
persediaan daging tidak mencukupi semua orang di Madinah. Demikian pula terjadi
pada zaman Nabi Yusuf, ketika terjadi swasembada selama tujuh tahun, masyarakat
tidak diperkenankan mengkonsumsi secara berlebihan (QS. 12:47-48).
Pembatasan
di masa krisis sesungguhnya dapat menjaga stabilitas sosial serta menjamin
terpenuhinya rasa keadilan, karena mereka yang punya kuasa atas harta tidak
bisa secara sewenang-wenang menimbun bahan pangan di rumahnya.
1 komentar:
Broker Terbaik – Dapatkan Banyak Kelebihan Trading Bersama FBS,bergabung sekarang juga dengan kami
trading forex fbsindonesia.co.id
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. SPREAD DIMULAI DARI 0 Dan
3. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANK LOKAL Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsindonesia.co.id
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085365566333
BBM : d2e26405
Posting Komentar