Awwalan
TERDAPAT sikap paradoks dalam masyarakat, dalam memahami
tantangan kewirausahaan pada satu sisi dan tuntutan aplikasi etika bisnis.
Kegiatan bisnis atau kewirausahaan dipandang
menggiurkan dan menjanjikan,
tetapi tak jarang pula dipandang rendah, karena anggapan-anggapan;
bisnis adalah dunia hitam, mencari harta haram saja susah apalagi mencari harta
yang halal, kebohongan dalam dunie marketing merupakan hal lumrah dan
lain-lain.
Sementara itu, melihat dan merasakan keterpurukan dunia
ekonomi dan bisnis dengan perilaku-perilaku moral hazard atau
praktek-praktek mal bisnis, memunculkan semangat untuk mengembangkan
kewirausahaan yang sarat dengan nilai-nilai etika bisnis. Dalam bahasa yang
sederhana, tetapi sulit dalam aplikasinya, bagaimana mengembangkan perilaku
bisnis seperti yang diteladankan Rasululllah.
Tsaniyan
Pandangan dan kesadaran minor dalam dunia bisnis, berangkat
dari pemahaman bahwa bisnis mempunyai ciri-ciri yang bersifat khusus,
menyerupai permainan yang menghendaki
strategi dan “aturan” khas yang diterima
secara bersama oleh para pelaku permainan dan tidak selainnya. Seperti
permainan poker, bisnis menghendaki sikap tidak percaya antar sesama pemainnya.
Mengelabui secara cerdik atau menyembunyikan kekuatan sendiri untuk maksud
sebenarnya, dibolehkan. Apabila ingin menang, nilai-nilai persahabatan, tenggang rasa atau ketulusan
harus dijauhkan.
Dari
pandangan-pandangan seperti inilah, kemudian muncul pemahaman antara dunia
bisnis dan etika dianggap dua bidang yang berbeda. Nilai-nilai seperti, kesetiaan, kepercayaan, religiusitas
dipandang sebagai nilai-nilai yang dianut oleh manager-manager yang kurang
berhasil. Sebaliknya nilai-nilai seperti, maksimalisasi laba, agresivitas,
individualitas, peperangan, merupakan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
manajer-menajer sukses.
Pandangan demikian merupakan hasil dari pandangan non
integralistik dalam kehidupan manusia: dunia versus akhirat, materi versus
immateri, jasmani versus rokhani dan lain-lain. Mitos-mitos dalam dunia bisnis
seperti mitos bisnis amoral, bisnis immoral, mitos bisnis sebagai pengejar
maksimalisasi keuntungan tumbuh subur. Mitos bisnis amoral berkeyakinan bahwa
bisnis adalah bisnis dan tidak bisa dicampuradukkan dengan moralitas. Antara
bisnis dan moralitas tidak ada kaitan apa-apa dan karena itu merupakan
kekeliruan kalau kegiatan bisnis dinilai dengan menggunakan tolak ukur
moralitas. Mitos bisnis immoral menganggap bisnis merupakan kegiatan tak tepuji
dan karenanya perlu dihindari. Sedangkan mitos bisnis pengejar maksimalisasi
keuntungan menganggap bisnis adalah kegiatan yang hanya berhubungan dengan
keuntungan-keuntungan semata.
Keterpisahan
dunia bisnis dan etika dari sudut pandang sosiologi agama, merupakan pengaruh
pemahaman agama secara
‘tradisional’ yang menjunjung
tinggi nilai-nilai rohani terhadap jasmani. Masyarakat yang
terbagi menjadi rakyat (kaum tani, tukang, pedagang kecil)
dan kelas priyayi, merupakan pengaruh mental feudal. Dalam tradisi Indonesia
awal, para pedagang besar dipegang oleh pedagang Cina dan Arab.( Franz. Magnis
Suseno: 1992).
Selain itu, dapat
juga merupakan pengaruh kekeliruan dalam
memahami tasawuf. Bahwa upaya mensucikan diri dapat dilakukan dengan cara
menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawiyah. Pandangan-pandangan
seperti itu, telah tersebar dan dipercaya secara luas oleh para pelaku bisnis dan masyarakat.Inilah
problem mendasar pertama-tama yang dihadapi, dalam upaya merealisasikan
kewirausahaan yang profetik.
Tsalisan
Hasil kajian
dan penelitian organisasi buruh International (ILO) tahun 2004 menunjukkan
bahwa jumlah orang miskin di Indonesia sangatlah banyak, jumlahnya mencapai
sekitar 110 juta orang. Atau mencapai hampir 50 prosen dari jumlah total
penduduk Indonesia. Angka ini berbeda jauh hasil penelitian BPS, yang
menyebutkan hanya 37,3 juta jiwa, yang termasuk orang miskin.
Perbedaan
yang sangat mencolok ini terjadi karena perbedaan parameter yang digunakan Organisasi Buruh dan BPS sangat jauh berbeda. ILO menerapkan standar
pengeluaran belanja US$ 2 per orang perhari atau sekitar 17.000 per hari.
Sedangkan BPS memamkai parameter pengeluaran 2100 kalori perorang per hari atau
sekitar US$ 1,7. (Tempo, 9 Mei 2004)
Terlepas dari perbedaan
parameter tersebut, kemiskinan baik kemiskinan structural dan kemiskinan
cultural, di kota ataupun di desa, kini dirasakan semakin menguat. Fakta ini,
jelas disamping tanggung jawab pemertintah sekaligus tanggung jawab setiap
warga negara, minimal dapat membebaskan kemiskinan diri sendiri. Di sinilah
tantangan kewirausahaan semakin menjadi nyata. Bagaimanakah
persyaratan-persyaratan agar dapat berwirausaha?
Menarik untuk dicermati
data Dirjen Pendidikan Tinggi tahun
2001, sekitar 12,5 % lulusan Perguruan
Tinggi kini masih menganggur, dan hanya
3–5 % saja dari 34 juta pengusaha
kecil di Indonesia yang merupakan lulusan Perguruan Tinggi baik diploma maupun sarjana. Angka 12,5 % sepertinya sedikit,
tetapi seperti biasanya angka itu merupakan angka formal berdasarkan suatu
proses pendataan. Karena itulah kemajuan usaha bagi Adi Sasono, tdk terkait
langsung dengan kepintaran formal dan permodalan.
Dari data itu dapat
disimpulkan, perguruan tinggi belum memberikan andil yang besar dalam mendorong
pertumbuhan perekonomian bangsa melalui pengembangan kewirausahaan. Secara
ideal PT mempunyai peranan yang sangat strategis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ia memerankan dirinya sebagai
center of knowledge atau center of
riset yang mensyaratkan kultur budaya ilmiah akademik
yang bercirikan sikap rasional, terbuka, anti ekslusivitas dan anti kemiskinan.
PT berkiprah menyiapkan sumber daya
manusia agar mampu meneruskan cita-cita negara dan bangsa, menciptakan
masyarakat adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanahkan Pembukaan UUD
1945.
Dengan peranan itu, profil lulusan PT bukan hanya jago dalam
penguasaan teori, tetapi harus sampai pada aplikasi dan menjadi suatu
keterampilan atau keahlian untuk dapat hidup secara mandiri. Dalam Islam ilmu
diyakini bukan ditujukan untuk ilmu semata, tetapi ilmu untuk kehidupan
manusia. Ilmu untuk manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan
manusia, termasuk kemampuan ekonomi.
Program sarjana misalnya
menurut pasal 3 SK Mendiknas No 232/U/2002
seharusnya dapat menjadikan lulusannya berkualifikasi menguasai dan
menerapkan dasar-dasar ilmiah dan keterampilan pada bidang keahliannya, mampu
memahami dan menyelesaikan masalah dalam kawasan keahliannya untuk kegiatan
produktif dan bermanfaat bagi kehidupan bersama.
Namun demikian, pada
kenyataannya mengapa hingga kini terjadi jurang pemisah antara tujuan pendidikan tinggi dan lulusan yang
dihasilkannya. Apakah kebijakan sistem ekonomi yang mengagungkan industri
manufaktur ikut andil dalam membuat jurang pemisah itu? Tidak sedikit PT yang
diarahkan untuk mencetak praktisi siap pakai dalam bidang-bidang
tertentu seperti, teknologi industri, teknologi informasi, kesehatan, pariwisata,
perbankan dan lain-lain.
Tak ayal, muncul
pemahaman, tujuan utama kuliah adalah
untuk bekerja. Disadari atau tidak pragmatisme tujuan itu, menyebabkan
tingginya ekspektasi alumni PT. Cepat
lulus dengan indeks prestasi tinggi, bergelar keren, bekerja di perusahaan
bonafid, menikah dan dapat memenuhi
kebutuhan hidup secara memadai. Inilah
mimpi-mimpi yang menggelayut dalam angan-angan mahasiswa angkatan akhir studi.
Kenyataannya ketika setelah lulus,
mendaftar jadi pegawai dan tidak diterima dalam seleksi, lalu memilih
mencari-cari dan menunggu lowongan kerja
berikutnya. Sementara itu pula kegagalan dalam suatu seleksi pegawai misalnya,
dianggap sebagai kegagalan perguruan
tinggi dalam proses pendidikannya. Inilah kiranya yang mendorong jumlah angka
pengangguran tak pernah berkurang.
Rabi’an
Bagaimanakah
pandangan al-Qur’an tentang bisnis dan etika bisnis. Dari sudut pandang isinya,
al-Qur’an lebih banyak membahas
tema-tema tentang kehidupan manusia baik pada tataran individual maupun kolektivitas. Hal ini
dibuktikan bahwa, tema pertama dan tema terakhir dalam al-Qur’an adalah mengenai perilaku manusia (Rahman,
1992: 59). Sebagai sumber nilai dan sumber ajaran, al-Qur’an pada umumnya
memiliki sifat yang umum (tidak terperinci), karena itu diperlukan upaya dan
kualifikasi tertentu agar dapat memahaminya.
Menurut Asghar
Ali Engineer al-Qur’an bukan hanya berbahasa Arab, namun juga telah menjadi
suatu simbol yang validitas dan vitalitas maknanya terletak pada interpretasi
dan reinterpretasi simbol-simbol tersebut sesuai dengan perubahan situasi ruang
dan waktu (1991: 3). Menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur’an yang berbahasa Arab tidaklah mudah
karena ia memiliki ciri-ciri yang sulit
diungkapkan ke dalam bahasa lain. Cara pengungkapan al-Qur’an betul-betul rumit
dan terasa sulit. Meskipun seseorang mengerti bahasa Arab, untuk
menerjemehkannya tetap saja membutuhkan catatan yang banyak dengan cara
menjelaskan kata-kata dan ungkapan-ungkapan tertentu dan selain itu harus
memiliki pengetahuan yang luas tentang latar belakang turunnya ayat.(Engineer,
1999: 171-172).
Al-Qur’an
dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan mengamalkan tuntutan-tuntutannya
dalam segala aspek kehidupan seringkali menggunakan istilah-istilah yang
dikenal dalam dunia bisnis, seperti jual-beli, untung-rugi dan sebagainya.
Dalam surat at-Taubah(9): 111 ditegaskan
bahwa, ”Sesungguhnya Allah membeli dari
orang-orang mukmin harta dan jiwa mereka
...... Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) Allah maka bergembiralah
dengan jual-beli yang kamu lakukan. Dan itulah kemenangan yang besar.
Pada
ayat ini orang yang hanya bertujuan keuntungan semata dalam hidupnya, ditantang
dengan tawaran suatu bursa yang tidak mengenal kerugian dan penipuan (Shihab,
1997: 4-5). Dijelaskan pula bahwa
al-Qur’an tidak memberi peluang sedikitpun untuk menganggur dalam kehidupan
dunia. Faidza faraghta fanshab
(al-Insyirah(94): 7). Sebelum ayat
ini ditegaskan “Sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan (al-Insyirah(94): 5-6) yang disebut dua kali.
Hal ini merupakan prinsip usaha tanpa adanya keputusasaan. Selain itu dalam
diri manusia terdapat fitrah yang
dihiaskan kepada manusia yaitu, hubb
asy-syahawat (QS. Ali-Imran (3): 14) yang merupakan bahan bakar yang
melahirkan dorongan bekerja, tetapi bekerja asal bekerja tetapi bekerja yang
serius sehingga melahirkan keletihan. Penggunaan kata asy-syahawat, mengandung pengertian bahwa, segala aktivitas
manusia memerlukan daya, melangkahkan kaki atau menunjuk dengan jaripun
memerlukan daya. (Shihab, 1997: 6).
Dengan
demikian prinsip dasar hidup yang ditekankan al-Qur’an adalah kerja dan kerja
keras (Shihab, 1997: 5-6). “Dan
bahwasanya seorang manusia tiada yang akan memperoleh kecuali selain apa
(hasil) yang diusahakannya sendiri”(QS an-Najm(53): 39).
Selain
itu bekerja oleh al-Qur’an dikaitkan dengan iman. Hal ini menunjukkan bahwa
hubungan antara iman dan kegiatan bagaikan hubungan antara akar tumbuhan dan buahnya. Ditegaskan al-Qur’an bahwa, amal-amal
yang tidak disertai iman tidak akan berarti di sisi-Nya.( QS. al-Furqan
(25): 23). Karena itu dalam surat
al-Jumu’ah(62): 9-10, al-Qur’an memerintahkan; yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan sembahyang maka
bertebaranlah di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ayat
ini memberi pengertian agar berbisnis (mencari kelebihan karunia Allah)
dilakukan setelah melakukan shalat dan dalam pengertian tidak mengesampingkan
dan tujuan keuntungan yang hakiki yaitu keuntungan yang dijanjikan Allah.
Karena itu walaupun mendorong melakukan kerja keras atau bisnis, al-Qur’an
menggarisbawahi bahwa dorongan yang seharusnya lebih besar adalah memperoleh
apa yang berada di sisi Allah (QS. Ali Imran (3): 14).
Atas
dasar hal ini maka, pandangan orang yang bekerja dan berbisnis harus melampaui
masa kini, dan masa depannya yang dekat. Dengan demikian visi masa depan dalam
berbisnis merupakan etika pertama dan utama yang digariskan al-Qur’an, sehingga
pelaku-pelakunya tidak sekedar mengejar keuntungan sementara yang akan segera
habis tetapi selalu berorientasi masa depan (Shihab, 1997: 4-5).
Dari
sudut pandang terminologis tentang bisnis, al-Qur’an mempunyai terma-terma yang
mewakili apa yang dimaksud dengan bisnis. Terma-terma itu adalah al-tijarah, al-bai’u, tadayantum, dan isytara. Selain terma-terma ini
bila ditelusuri lebih lanjut masih terdapat pula terma-terma lain yang dapat
dianggap mempunyai persesuaian maksud dengan bisnis, seperti ta’kulu, infaq, al-ghard. Hanya
sama dalam tulisan ini membatasi pada empat terma di atas.
Terma
tijarah, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijaratan,
yang bermakna berdagang, berniaga. At-tijaratun
walmutjar; perdagangan, perniagaan, attijariyy
wal mutjariyy; mengenai
perdagangan atau perniagaaan(al-Munawwir,1984:
139). Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi gharib al-Qur’an, at-tijarah
bermakna pengelolaan harta benda untuk
mencari keuntungan. Demikian pula
menurut Ibnu Arabi, yang dikutip ar-Raghib; fulanun tajirun bi kadza, berarti seseorang yang
mahir dan cakap yang mengetahui arah
dan tujuan yang diupayakan dalam
usahanya (1961: 73).
Dalam al-Qur’an terma tijarah ditemui sebanyak delapan
kali dan tijaratuhum satu
kali. Bentuk tijarah terdapat
dalam surat al-Baqarah (2): 282, an-Nisa (4): 29, at-Taubah (9): 24, an-Nur
(24): 37, Fatir (35): 29, as-Shaff (61): 10, pada surat al-Jum’ah (62): 11
(disebut dua kali). Adapun Tijaratuhum
tersebut pada surat al-Baqarah (2): 16.
Dalam
penggunaan terma-terma di atas terdapat dua macam pemahaman. Pertama, dipahami dengan perdagangan
yaitu pada surat al-Baqarah (2): 282. Kedua,
dipahami dengan perniagaan dalam pengertian umum. Yang menarik dalam
pengertian-pengertian ini, dihubungkan dengan konteksnya masing-masing adalah
bahwa pengertian perniagaan tidak hanya berhubungan dengan hal-hal yang
bersifat material atau kuantitas, tetapi kebanyakan dari pengertian perniagaan
lebih tertuju kepada hal yang bersifat immaterial-kualitatif. Yang
memperlihatkan makna perniagaan dalam konteks material misalnya disebutkan
dalam al-Qur’an surat at-Taubah(9): 24,
an-Nur(24): 37, al-Jumu’ah(62): 11.
Adapun perniagaan dalam konteks material
sekaligus immaterial terlihat pada pemahaman tijarah dalam beberapa ayat Al-Qur’an yaitu dalam surat
Fatir(35): 29, bahwa “Sesungguhnya
orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka dengan
diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi” Pada surat as-Shaf(61): 10-11, ditegaskan
bahwa “Wahai orang-orang yang beriman sukakah kamu
aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang
pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad di jalan
Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahuinya.
Ar-Raghib menjelaskan bahwa al-tijarah dalam surat ash-Shaf(61): 10, ditafsirkan secara
jelas oleh ayat selanjutnya; Tu’minuna
billahi wa rasulihi watujahiduna fi sabilillahi
bi amwalihim wa anfusihim.., Isytarawudldlalalata bi al-huda
fama rabihattijaratuhum.., illa an takuna tijaratan
an taradimminkum.., tijaratan hadiratan tudirunaha
bainakum (Asfahani, 1961:73).
Selain
itu ayat ini, menurut Musthafa al-Maraghi menegaskan tentang petunjuk transaksi yang menguntungkan dan
perniagaan yang bermanfaat, yang dengannya pelaku bisnis akan mendapatkan
keuntungan besar dan keberhasilan yang kekal. Perniagaan dimaksud adalah tetap
dalam keimanan, keikhlasan amal kepada Allah dan berjihad dengan jiwa dan harta
dengan menyebarkan agama dan meninggikan
kalimatnya. Iman dan jihad lebih baik dari pada seluruh urusan di dunia
apabila memahami dan mengetahui tujuan dan akibatnya. Segala urusan akan menjadi berharga kerena
tujuan dan akibatnya(1993: 145-146).
Dengan
demikian dapat pula diambil pengertian bahwa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
berjihad dengan harta dan jiwa merupakan bagian dari bisnis, yakni bisnis
sesungguhnya yang pasti akan mendapat keuntungan hakiki. Dari pemahaman ini
pula, dapat diambil pemaknaan bahwa perilaku bisnis bukan semata-mata perbuatan
dalam hubungan kemanusiaan semata tetapi mempunyai sifat ilahiyah. Adanya sikap
kerelaan diantara yang berkepentingan, dan dilakukan dengan keterbukaan,
merupakan ciri-ciri dan sifat-sifat keharusan dalam bisnis. Jika ciri-ciri dan
sifat-sifat di atas tidak ada maka bisnis yang dilakukan tidak akan mendapat
keuntungan dan manfaat.
Demikian
pula terma al-bai’ digunakan
al-Qur’an, dalam pengertian jual beli yang halal, dan larangan untuk memperoleh
atau mengembangkan harta benda dengan
jalan riba. (al-Baqarah (2): 275). Jual beli diperlihatkan dalam konteks
sebagai aspek bisnis yakni sebagai media
mencari penghidupan. Terma baya’tum, bibai’ikum,(QS. at-Taubah (9): 111) dan tabaya’tum
(QS. al-Baqarah (2): 282), digunakan
dalam pengertian jual beli yang dilakukan oleh kedua belah pihak harus
dilakukan dengan ketelitian dan dipersaksikan dalam pengertian dengan cara
terbuka dan dengan tulisan. Jual beli di sini tidak hanya berarti jual beli
sebagai aspek bisnis tetapi juga jual
beli antara manusia dan Allah yaitu ketika manusia melakukan jihad di jalan Allah, mati syahid,
menepati perjanjian dengan Allah, maka Allah membeli diri dan harta orang
mukmin dengan syurga. Jual beli yang demikian dijanjikan oleh Allah dengan
syurga dan disebut kemenangan yang besar.
Paparan
di atas menegaskan bahwa, pertama, al-Qur’an memberikan tuntunan bisnis yang
jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan
sesaat, melainkan mencari keuntungan yang hakiki; baik dan berakibat baik pula
bagi kesudahannya. Kedua, Keuntungan bisnis menurut al-Qur’an bukan
semata-mata bersifat material tetapi bersifat material sekaligus immaterial,
bahkan lebih mengutamakan hal yang bersifat immaterial atau kualitas. Ketiga, bahwa bisnis bukan semata-mata
berhubungan dengan manusia tetapi juga
berhubungan dengan Allah. Dengan demikian etika bisnis dalam al-Qur’an
berada dalam kesatuan pandangan dalam hakikat bisnis itu sendiri.
Khamisan
Paparan sikap
al-Qur’an di atas sama sekali tidak memisahkan antara dunia bisnis dan etika
bisnis. Pertama, antara keduanya dapat menyatu dan seiring sejalan.
Keteladanan Muhammad dalam bisnis merupakan aplikasi dari sikap al-Qur’an
tersebut.[1]
Kedua, al-Qur’an tidak pernah sedikitpun
membeda-bedakan tentang mana jenis pekerjaan yang bergengsi atau rendahan. Bahkan tidak menganggap hina
terhadap suatu jenis profesi tertentu.[2]
Suatu profesi
agar menjadi professional mensyaratkan suatu keterampilan dan keahlian,
totalitas, komitmen serta kesadaran dan tanggung jawab, tanpa membedakan nilai
kualitas dari jenis-jenis profesi tertentu. Keharusan zakat profesi misalnya
dengan ukuran tertentu dan nishab tertentu menunjukkan keharusan
profesionalitas pada satu sisi dan adanya hasil-hasil yang harus terukur pada
sisi lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar