Kamis, 16 Februari 2012

Perspektif Ideal Etika Bisnis dan Perubahan Budaya Kerja

                                  
                                         Perspektif Ideal Etika Bisnis dan Perubahan Budaya Kerja
  
 



Oleh: Andrew E.B. Tani

Sadar akan dilema moral yang dihadapi para karyawan selama melaksanakan tugasnya, pemimpin bisnis yang tanggap merumuskan etika bisnis (business ethics) untuk menjadi acuan bagi seluruh karyawan. Di dalamnya diuraikan sejelas mungkin hal mana yang baik dan mana yang buruk, hal mana yang benar dan salah, hal mana yang halal dan haram, mana yang dibenarkan dan mana yang dianggap tabu.

Arti kata “etika” (berasal dari bahasa Yunani ethos, digunakan sejak 1851) itu sendiri adalah “ciri yang membedakan, semangat, moralitas, atau keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh seseorang, sebuah komunitas, atau sebuah institusi”. Jadi, etika bisnis berisi keyakinan, nilai, dan perilaku yang diyakini akan mewujudkan kondisi usaha yang diinginkan dan sesuai moralitas yang dianut oleh para penguasa usaha tersebut. Etika bisnis berlaku untuk seluruh karyawan, tak terkecuali, terlebih penguasa usaha yang menetapkannya.

Istilah yang dipakai beraneka ragam, seperti Etos Kerja, Budaya Kerja, Falsafah Manajemen, Kode Etik, dan lain-lain. Selera dan ruang lingkupnya bisa berbeda, tetapi intinya sama, yaitu pesan-pesan yang menggambarkan kesempurnaan dalam berpikir, berbicara, berpenampilan, dan bertindak.

Perumusan dan penetapan etika bisnis merupakan salah satu dari sekian banyak upaya pemersatu (internal integration) yang diusahakan oleh pemimpin perusahaan untuk meningkatkan daya tahan bisnisnya. Itu dilakukan dengan mengindahkan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik (good corporate governance) sekaligus memenuhi kewajibannya sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab (corporate social responsibility).

Dalam penerapannya, etika bisnis tak luput dari kemungkinan terjadinya pelanggaran. Penulis membedakan pelanggaran terhadap etika bisnis ini menjadi dua tipe: yang tidak disengaja dan yang disengaja.

Untuk tipe pelanggaran yang tidak disengaja, ada suatu kisah yang dititipkan oleh seorang bernama Abraham Lincoln, presiden AS yang kedua. Dia bercerita tentang seorang petani yang sedang mendidik anaknya membajak sawah. Sambil menunjuk seekor sapi yang duduk santai di pinggir sawah yang mau dibajak, di petani berkata, “Kamu lihat sapi itu, Nak? Doronglah garu ini menuju ke sapinya.” Petani itu lalu meninggalkan anaknya dan mengerjakan sesuatu di tempat lain. Setelah beberapa lama, si petani kembali. Namun, dia tidak melihat suatu garis yang lurus, yang ia lihat adalah garis yang bengkak-bengkok. “Kamu berfokus pada sapi, kan?” tanyanya. “Iya, Pak, itu yang saya lakukan. Tapi, sapinya bergerak!” jawab sang anak.

Anak itu patuh kepada perintah ayahnya, tetapi ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Dua hal yang menjadi penyebab pelanggaran tak disengaja itu. Pertama, lack of clarity (kurang  jelas hasil akhir yang diinginkan oleh pemimpin), dan kedua, lack of supervision (penyeliaan yang diterapkan oleh pemimpin kurang memadai).

Untuk menelaah pelanggaran yang terjadi dengan kesengajaan, ada nasihat menarik dari seorang ahli bedah otak di Jakarta. Dia mengatakan, “Pak Andrew, anak kita kalau mencuri tidak semuanya itu salah. Kita sebagai orang tua harus melihat positifnya dari anak yang mencuri itu. Ada tiga hal baik yang diperagakannya tanpa kita sadari. Pertama, anak yang mencuri itu minimal punya kemauan. Kedua, ia bisa melihat peluang, Dan ketiga, ia berani bertindak atas keyakinannya!” Tentu saja dokter itu tidak bermaksud mendorong anak kita menjadi pencuri. Maksudnya adalah beri arahan kepada anak itu tanpa harus kehilangan ketiga hal tersebut.

Dari uraian di atas, tiga hal yang sama yang menyebabkan pelanggaran yang disengaja. Pertama, conflicting goals (ada kepentingan yang tidak menyatu atau ada kebutuhan, tetapi tidak ada hak atas cara pemenuhannya). Kedua, irresistible temptation (adanya kesempatan memenuhi kebutuhan meskipun bukan haknya untuk melakukan itu). Dan terakhir, lack of consequence (hukuman yang diberikan tidak memadai untuk mengurungkan niat pelaku melakukan pelanggaran).

Disengaja atau tidak, terlepas dari besar-kecilnya pelanggaran, setiap pelanggaran terhadap etika bisnis yang dibiarkan tanpa hukuman yang sepantasnya, dengan alasan apa pun juga, akan berdampak negatif terhadap seluruh upaya pemersatu lainnya yang sedang diusahakan oleh para pemimpin perusahaan. Setiap pelanggaran yang tidak terdeteksi berbahaya. Dan, setiap pelanggaran yang terdeteksi, tetapi tidak mendapat ganjaran yang sepantasnya, lebih berbahaya lagi. Mengingat bahwa pada akhirnya kelangsungan usaha itu sendiri yang menjadi taruhan, maka seluruh karyawan wajib mewaspadai, menegur, serta membantu terjadi sesedikit mungkin pelanggaran terhadap etika bisnis; dan pemimpin mereka wajib menerapkan hukuman secara tegas dan adil.

Namun,  nyatanya, pelanggaran terhadap etika bisnis tak mudah dihentikan. Manakah di antara lima penyebab terjadinya pelanggaran di atas yang sulit untuk ditiadakan?

Lack of clarity jelas dapat diobati dengan berbagai program komunikasi dan pendidikan. Lack of supervision dapat dijaga dengan menetapkan span of control (jumlah bawahan di bawah seorang penyelia) yang memadai. Conflicting goals diminimalisir dengan sedapat mungkin seorang atasan mengenal dan membangun komunikasi dua arah dengan bawahannya. Irresistible temptation dikurangi dengan menerapkan sistem dan prosedur pengawasan yang memadai. Lack of consequence dinetralisir dengan menetapkan dan menegakkan hukuman yang berat tetapi adil.

Semua niat dan upaya perusahaan tersebut di atas baik. Namun, yang menjadi penentu akhir atas efektivitas semuanya adalah mutu kepemimpinan dan budaya perusahaan yang berlaku serta kadar keberanian moral (moral courage) yang merupakan pembawaan masing-masing karyawan perusahaan Anda.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Themes | New Blogger Themes