Neoliberalisme Dunia Pendidikan:
Otonomi Kampus dan Sekolah
Dikeluarkan
Oleh Departemen Litbang LMND
1. Menelanjangi Otonomi Sekolah dan Kampus: Pemotongan Subsidi Pendidikan
Menyoroti berbagai persoalan tentang
sistem pendidikan belakangan ini, kita akan justru dengan terpaksa harus
mengupas sebuah isu, yaitu otonomi sekolah dan otonomi kampus. Kedua hal ini
sebenarnya adalah jalan keluar yang ditawarkan pemerintah untuk menghadapi
kurangnya dana yang tersedia untuk penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakat.
Selintas, kebijakan ini justru lebih berlaku untuk sekolah-sekolah dan
kampus-kampus negeri yang memang dibiayai pemerintah. Namun, jika kita
menelusuri secara historis dan lebih detail, maka akan terlihat bahwa kebijakan
yang dicanangkan pemerintah dengan apa yang dinamakan Otonomi Pendidikan
ternyata akan berpengaruh kepada keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia.
1.1. Komersialisasi Pendidikan Semasa Orde Baru
Sampai saat ini, dalam kenyataannya,
negara tak pernah menjalankan secara konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam
persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih
terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru,
pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan.
Bertambahnya populasi manusia Indonesia
semasa Orde Baru tak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial,
termasuk pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah justru tak pernah
dengan serius memperhatikan persoalan ini. Pemerintah Orde Baru justru lebih
membiarkan anak-anak Indonesia masuk ke dalam jeratan pendidikan swasta. Memang
begitu banyak dibangun SD-SD Inpres, tetapi sangat jelas kelanjutan dari
pendidikan dasar tersebut sangat tidak diperhatikan. Bahkan kini, program SD
Inpres ini sepertinya sama sekali ditinggalkan, jika kita melihat begitu banyak
gedung-gedung SD Inpres, terutama di daerah pedesaan, yang nyaris rubuh dan
hanya memiliki beberapa orang guru saja untuk mendidik semua tingkat kelas yang
ada.
Dengan pembenaran kesulitan semacam
inilah, pintu untuk pendidikan swasta, di bawah naungan yayasan-yayasan yang
kebanyakan bersifat keagamaan, masuk memanfaatkan segenap potensi pasar yang
ada. Berdirilah sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang kini semakin jelas
terlihat tujuan mereka sebenarnya: uang!
Seiring dengan pertumbuhan industri,
kebutuhan akan tenaga kerja terdidikpun muncul, terutama dengan keahlian yang
benar-benar seperti yang diinginkan oleh para pemilik perusahaan. Kebutuhan
tersebut ternyata tak terjawab oleh adanya sekolah-sekolah kejuruan yang ada.
Untuk menjawab keinginan ini, negara memperkenalkan sistem pendidikan D1, D2,
dan D3. Iming-iming cepatnya lulusan diploma mendapatkan pekerjaan, membuat
program ini laku diminati orang dan berbondong-bondong lulusan SMA menyertakan
dirinya ke dalam program ini.
Tahun-tahun terakhir dari masa Orde
Barupun kita mulai mendengar istilah “Link and Match” yang bermakna hubungan
yang katanya harmonis antara dunia Industri dan Pendidikan. Tujuan dari model
pendidikan seperti ini, menurut Wardiman Djojonegoro, adalah setiap peserta
didik dapat langsung mendapatkan pelatihan yang menggunakan perkembangan
teknologi terakhir sehingga memudahkan ia untuk bekerja nantinya dan pihak
industri mendapatkan pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya.
“Link and Match” meski belum sempat
diterapkan secara efektif, namun minimal ia adalah salah satu gerbang masuknya
pengaruh perusahaan-perusahaan besar ke dalam sistem pendidikan Indonesia.
Pemerintah begitu bersemangatnya, sehingga merasa harus memberikan insentif
berupa pembebasan pajak bagi industri yang menjalankan konsep ini, atau yang
sering disebut Pendidikan Sistem Ganda[1].
Dalam kenyataannya kemudian, pelibatan dunia industri justru membuka kesadaran
bagi dunia industri untuk mentenderkan riset dan pengembangan produknya di
kampus-kampus. Dan juga membuka kesadaran di kalangan kampus, bahwa kampus
dapat dijadikan lahan bisnis yang cukup besar.
Hasil akhir dari sistem pendidikan yang
dibangun oleh Orde Baru adalah sebuah mimpi buruk. Dari penelitian yang
dilakukan Departemen Pendidikan dan PBB[2]
menyatakan, di tingkat Sekolah Dasar misalnya, hanya separuh siswa SD di
Indonesia yang lulus pada tahun keenam, 65 persen lulus pada tahun ketujuh, dan
70 persen yang lulus pada tahun kedelapan.
Penyebaran kualitas pendidikan pun
sangat menyedihkan. 80 persen calon mahasiswa PTN terbaik berasal dari
sekolah-sekolah di Jawa. Lihat saja skor rata-rata untuk penerimaan mahasiswa
baru (UMPTN) tahun 2000 yaitu 771, sedangkan di luar Jawa hanya berkisar
400-600.
Salah satu argumen yang berkembang
tentang sumber persoalan ini adalah karena pola kebijakan pendidikan yang
sentralistis, di mana pusat mengatur mulai dari jam belajar, metode belajar,
dan target yang harus dicapai. Akibatnya, terdapat keterbatasan sekolah dalam
mengatasi berbagai macam masalah, karena sekolah dan guru hanyalah pelaksana
yang selalu dibelenggu oleh aturan-aturan baku yang ditetapkan oleh pusat. Akan
tetapi, benarkah argumen ini?
Intervensi komersialisasi justru
menjadi penyebab utama dari segudang persoalan di atas. Ia menyebabkan
membengkaknya iuran pendidikan yang harus dibayar orang tua siswa akibat adanya
pengutipan oleh birokrasi sekolah atau kampus. Ia menyebabkan adanya buku-buku
tidak bermutu yang malah dipakai oleh sekolah-sekolah. Ia menyebabkan munculnya
sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang materi pengajarannya harus dengan sangat
terpaksa kini diragukan. Pemerintah yang cuci tangan dari kewajibannya dan
pembukaan pendidikan untuk komersialisasi jelas adalah penyebab utama dari
amburadulnya hasil pendidikan Orde Baru.
1.2. Anggaran Pendidikan dan Subsidi Pendidikan
Semasa
Orde Baru, dana pendidikan yang dikeluarkan tak lebih dari 8 persen dari APBN.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand,
maka dapat terlihat bahwa pemerintah Indonesia tak pernah memperhatikan
pendidikan. Sejak tahun anggaran 1992, 1993, 1994, 1995, 1996 Thailand
masing-masing mengalokasikan 18,8 persen, 19,3 persen, 19,5 persen, 18,9 dan
20,40 persen maka untuk periode yang sama Indonesia hanya 8,08 persen, 7,69
persen, 7,1 persen, 6,73 persen, dan 6,96 persen. Untuk hal yang sama, sering
disebut-sebut Malaysia sudah mengalokasikan 25 persen sejak tahun 1974[3].
Anggaran
pendidikan saat ini sangat memperlihatkan bahwa pemerintah memang benar-benar
melepaskan tanggungjawabnya dari dunia pendidikan, apalagi memasukkan
pendidikan sebagai salah satu yang diberikan tanggungjawabnya kepada pemerintah
daerah.
Sebelumnya,
untuk kasus Universitas Indonesia, pemerintah menanggung subsidi untuk setiap
mahasiswa sebesar 2,5 juta rupiah persemesternya untuk menghadapi kebutuhan
sekitar 7 juta per semester per mahasiswa. Pemerintah lalu memotong subsidi
ini, dengan alasan agar dapat digunakan di pendidikan dasar-menengah.
Akibatnya, iuran SPP yang ditanggung mahasiswa UI meningkat menjadi 750.000
rupiah dari 450.000 rupiah[4].
Dan inipun harus ditambah dengan dana DPKP yang menyebabkan total biaya yang
ditanggung per mahasiswa lebih dari 1 juta per semester.
Lucunya,
setelah mengatakan bahwa pemotongan subsidi untuk perguruan tinggi karena
pemerintah ingin menggunakan dananya di pendidikan dasar dan menengah,
diumumkanlah pemberlakuan otonomi pendidikan yang termasuk dalam paket otonomi
daerah. Dalam otonomi pendidikan ini juga diperkenalkan manajemen pendidikan
berbasis sekolah yang dapat disimpulkan dengan singkat: uang SPP SD-SMTA naik.
2. Otonomi Sekolah dan Kampus: Antara Konsep dan Dampak
Konsep yang berlaku dalam otonomi
pendidikan adalah apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis sekolah dan
kampus. Sekolah dan kampus bertanggung jawab atas keuangan, kegiatan atau
program, sarana-prasarana, dan komponen-komponen penunjang pendidikan lainnya.
Sekolah dan kampuslah yang merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol dirinya
dalam melakukan pembangunan diri ataupun pendidikan bagi siswa-siswanya.
Otonomi pendidikan ini juga
sejalan dengan otonomi daerah yang berlaku 1 Januari 2001 lalu. Berbagai
Pemerintah Daerah Tingkat I dan II sudah menyatakan kesiapan dirinya. Mereka
terutama adalah daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Sebagai
contoh Pemda Kalimantan Timur yang mengklaim sudah menyiapkan anggaran
pendidikan sebesar 340 milyar rupiah dan dengan tambahan dana dari sektor
kehutanan sebesar dua dolar per meter kubik kayu hutan industri yang
dimilikinya. Salah satu kabupatennya, Kutai Kertanegara, yang kaya akan hasil
tambang minyak dan emas bahkan akan menggratiskan sekolah sampai SMA.
Namun tak semua provinsi dan kabupaten
seperti Kalimantan Timur dan Kutai Kertanegara. Provinsi dan kabupaten yang
selama ini miskin kekayaan alam dan berjubel penduduknya tidak akan mengalami
keindahan dunia pendidikan seperti yang dialami Kaltim dan Kutai. Artinya, ada
beberapa hal yang harus dicermati dalam pelaksanaan otonomi pendidikan.
2.1. Memperbesar Peran Birokrasi Kampus dan Sekolah untuk Menyediakan Dana
Desentralisasi pendidikan dimulai dengan memberi peran kepada
pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kotamadya sebagai basis pengelolaan
pendidikan dasar. Sedangkan untuk pendidikan tinggi
Pertama,
otonomi daerah telah menyebabkan kembalinya sumber-sumber daya untuk pendidikan
ke daerah-daerah. Asumsi dari otonomi
daerah, atau lebih tepatnya sumber kepalsuannya, setiap daerah memiliki
potensinya masing-masing sehingga justru dengan otonomi daerah setiap daerah
bisa mencapai tingkat kemakmuran.
Mari
kita lihat kenyataannya, tak usah jauh-jauh dari pusat kekuasaan. Di Jabotabek
dan Jawa Barat masih banyak SD-SD yang fasilitasnya dan mutu pendidikan yang
diperoleh siswa-siswanya sama-sama menyedihkan dengan di daerah-daerah lainnya.
Dibandingkan dengan SD-SD yang berada dalam perkembangan infrastruktur di
daerah-daerah luar Jawa di mana alam masih menjadi sumber keterbatasan,
sebenarnya SD-SD di Jawa, di mana segala macam fasilitas telah tersedia,
ternyata memiliki nasib sama-sama menyedihkan.
Yang
tak kalah penting adalah kondisi yang sangat dipenuhi ketimpangan di awal
pemberlakuan pendidikan. Kondisi SD-SD di Jawa Barat dan SD-SD di Papua jelas
sangat jauh berbeda baik dari segi fasilitas, tenaga pengajar, kemampuan siswa,
dan mutu pendidikannya. Atau dalam contoh ekstrem, sebuah SMA negeri unggulan
di Jakarta dengan semua ruang kelas ber-AC, memiliki lab komputer, dan segudang
fasilitas lainnya bisa beroperasi karena SPPnya mencapai ratusan ribu rupiah.
Bahkan saat ini juga telah muncul sekolah-sekolah plus dari swasta yang
berfasilitas hebat dan berstandar pendidikan internasional[5].
Ya, sekolah-sekolah ini memang berkualitas karena dananya juga berasal dari
murid-muridnya yang kaya. Tapi bagaimana menciptakan pendidikan yang
berkualitas dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat? Dengan
otonomi pendidikan, menyerahkan segala urusan
pembiayaan kepada kampus dan sekolah? Jelas tidak. Otonomi pendidikan
justru akan menghambat pemerataan mutu pendidikan baik antar daerah dan juga
antar lapisan-lapisan ekonomi masyarakat.
Jika
begitu, otonomi pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolahnya menjadi
upaya cuci tangan pemerintahan dari tanggung jawab membenahi segala macam
kerusakan yang telah terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia.
Kedua,
otonomi pendidikan tidaklah berarti peningkatan porsi anggaran pendidikan, atau
titik perhatian pemerintah. Padahal, penyebab utama rendahnya mutu pendidikan
Indonesia adalah rendahnya dana yang dialokasikan untuk sektor pendidikan.
Jangan pernah tertipu oleh jumlah uang yang dianggarkan untuk pendidikan, tapi
perhatikanlah persentasinya dari total anggaran. Jika alokasi anggarannya tetap
rendah, maka justru otonomi pendidikan justru akan menyengsarakan siswa-siswa.
Kenapa? Karena otonomi pendidikan juga berarti menyerahkan tanggung jawab
penyediaan dana kepada sekolah-sekolah, dan yang paling mudah untuk mendapatkan
dana adalah menaikkan iuran sekolah.
2.2. Kampus sebagai Pusat Bisnis Riset IPTEK
Seperti yang pernah diungkapkan di atas, masuknya
intervensi industri ke dalam kampus telah menciptakan basis bisnis baru, riset
dan pengembangan produk. Awalnya, ladang bisnis ini dijalankan secara diam-diam
ataupun bahkan diselimuti oleh institusi-institusi penelitian kampus untuk membiayai
berbagai macam kegiatan akademik. Yang digunakan juga fasilitas-fasilitas
kampus. Kenapa tidak? Di negara-negara maju hal ini sudah menjadi sesuatu yang
lumrah. Apalagi hampir kebanyakan tenaga pengajar yang dinilai terbaik oleh
kampus-kampus Indonesia dididik di negara-negara tersebut.
Namun lama kelamaan, ia menjadi lahan bisnis yang
menguntungkan, terutama untuk beberapa kalangan di dalam kampus yang dekat
dengan fasilitas penelitian dan pengembangan kampus. Dan pihak birokrasi
kampuspun mulai melihat riset IPTEK sebagai lahan bisnis yang dapat memberikan
pemasukkan untuk anggaran kampus, ataupun anggaran pribadi jika
person-personnya terlibat KKN.
Dunia bisnis dengan dunia kampus memiliki perbedaan
yang mendasar. Jika dunia kampus adalah bertugas melayani masyarakat, dunia
bisnis memiliki hanya satu kepentingan: memperkaya para pemegang saham. Apa
jadinya jika fasilitas penelitian di kampus-kampus lebih banyak dipakai untuk
kebutuhan-kebutuhan komersil? Semua pusat perhatian penelitian di kampus akan
lebih banyak tercurah kepada kepentingan-kepentingan para pemilik modal, bukan
mayoritas masyarakat.
Saat inipun, banyak tugas-tugas akhir mahasiswa S1,
terutama di fakultas-fakultas teknik, sudah sangat banyak dipengaruhi oleh
pengembangan fasilitas penilitian kampus sebagai sarana bisnis. Banyak
dosen-dosen pembimbing yang juga terlibat proyek penelitian dengan berbagai
perusahaan justru memanfaatkan tenaga gratisnya para mahasiswa tugas akhir
tersebut untuk membantu menyelesaikan proyeknya.
2.3. Pola Subsidi Pendidikan
Konsep otnomi kampus juga memperkenalkan model performance contract untuk pemberian
subsidi pendidikan. Misal, di kampus A pemerintah memberikan sejumlah bantuan
(block grant) yang diikat oleh sejumlah persyaratan seperti jumlah kelulusan yang
dihasilkan dan kualitas dari kelulusan tersebut haruslah mencapai standar
tertentu.
Jika kuantitas dan kualitas yang ditentukan tidak
dapat dipenuhi, maka akan menjadi evaluasi dalam pemberian bantuan selanjutnya.
Bisa jadi evaluasi tersebut menjadi alasan pengurangan subsidi yang diberikan
ke kampus A tersebut.
Sistem semacam ini tak ubahnya membuat kampus menjadi
pabrik sarjana, dimana manusia-manusia yang dididik di dalam kampus-kampus
benar-benar hanya siap untuk menjadi mur dan baut dunia industri. Kurikulum
jelas akan benar-benar dipengaruhi prasyarat-prasyarat yang tercantum dalam
kontrak bantuan. Lihat saja betapa besar genjotan yang dilakukan pihak
birokrasi kampus untuk mempercepat masa studi seorang mahasiswa perguruan
tinggi negeri. Di banyak kampus negeri saat ini, dalam satu tahun dapat
mengadakan tiga kali masa persidangan skripsi ataupun tugas akhir. Ini juga
ditambah dengan batas maksimum masa studi yang perpanjangannya diembel-embeli
dengan penambahan beban SPP. Dan semua itu sama sekali tidak memperhatikan apa
yang diperoleh setiap wisudawan selama masa studinya di kampus-kampus tersebut.
2.4. Pengaruh Korporat di dalam Sekolah dan Kampus
Dalam konsep otonomi pendidikan saat ini memang negara
tidak terlalu dominan dibanding masa Orde Baru. Namun yang menarik, pelibatan
semua unsur-unsur masyarakat di dalam Lembaga Pertimbangan Pendidikan dan
Kebudayaan (LPPK) untuk SD-SMTA di pemda-pemda setempat, dan Majelis Wali
Amanat (MWA) untuk perguruan tinggi negeri.
Kenapa menarik? Karena di dalam setiap lembaga
tersebut, unsur usahawan selalu dimasukkan sebagai daftar pertama sebagai
anggotanya. Jelas, masuknya usahawan ke dalam manajemen pendidikan tidak bisa
ditolak jika yang bersangkutan benar-benar ingin membantu dunia pendidikan
tanpa imbalan apapun. Namun kenyataannya, ini sering kali membuat
institusi-institusi pendidikan memasukkan hitungan untung rugi finansial dalam
memberikan pendidikan kepada peserta didiknya.
Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara,
terutama negara-negara maju. Di Kanada misalnya, pengaruh korporat mulai
mengarahkan kampus sebagai pelayan kepentingan ekonomi mereka, yaitu pasar
produk mereka dan riset yang dilakukan kampus. Komersialisasi riset dan
pengembangan justru dianjurkan oleh sebuah badan yang didirikan oleh pemerintah
federal, Expert Panel on the Commercialization of University
Research. Ternyata, badan yang diketuai oleh Menteri Perindustrian Kanada ini
tidak diisi oleh ahli-ahli akademik, melainkan para pengusaha dan non
akademisis lainnya yang memang ditunjuk oleh pemerintah. Penerapan model MWA di
Kanada juga terjadi, sebagai contoh Board of Governors dari McGill University
adalah para pengusaha besar di Montreal[6].
Kasus demi kasus terjadi, dua yang terakhir adalah pendirian McGill College
International yang didanai swasta dan kasus kesepakatan rahasia mengenai riset
minuman dingin.
2.5. Dampak Utama: Naiknya Biaya SPP
Terlepas dari semua frasa kosong yang dikeluarkan oleh
para konseptor otonomi pendidikan di Indonesia, kita tak bisa melupakan satu
hal yang berkaitan langsung dan paling terasa oleh masyarakat. Otonomi
pendidikan akan selalu diikuti oleh kenaikan SPP. Pengalaman di UNAM, Meksiko,
membuktikan gratisnya (sebenarnya tidak gratis tetapi sekitar 50 sen
persemester, sehingga dapat dikatakan gratis) pendidikan tidak berarti buruknya
fasilitas kampus. Bahkan UNAM yang jumlah mahasiswanya mencapai 268000 orang,
memiliki fasilitas berupa empat buah SMA yang siswa-siswanya begitu lulus
menjadi mahasiswa UNAM. Namun ketika program Neoliberalisme diperkenalkan, biaya
SPP dinaikkan hingga US$ 140, sebuah angka yang cukup mahal di kota Meksiko.
Akibatnya, hampir sebagian mahasiswa UNAM melakukan mogok kuliah yang kemudian
berbentrokan dengan aparat kepolisian yang diundang oleh pemerintah untuk
merebut kembali kampus[7].
Di Indonesia, mahasiswa negeri angkatan 1999 dan 2000
kini membayar uang mendekati 1 juta rupiah sebagai SPP. Sampai saat ini memang
masih belum jelas untuk tingkat pendidikan di bawahnya, tetapi memang telah
terlihat akibat-akibat kenaikan SPP ini, 3 juta anak usia SMTP tidak sekolah.
Sementara itu, pemerintah tetap mendorong kebijakan otonomi pendidikan kepada
pemda-pemda dan otonomi kampus. Untuk otonomi kampus saja, direncanakan subsidi
untuk pendidikan tinggi akan terus-menerus dikurangi sampai nol dalam jangka
beberapa tahun.
***
Menjadi persoalan pelik jika di saat krisis saat ini
sektor pendidikan tidak menjadi bagian perhatian pemerintah. Apabila
terus-menerus seperti ini, maka bukan tidak mungkin pendidikan kembali hanya
menjadi monopoli orang-orang yang memiliki modal yang hanya memberikan
pendidikan kepada orang lain untuk memperlancar ekonominya.
[1] Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997
[2] Tempo,
7 Januari 2001
[3] Lewat
Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998
[5] Sekolah Plus, Menghitung
Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001
[6] Kasrai, Reza, Corporate
University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur 2001.
[7] http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.asp
0 komentar:
Posting Komentar